Perundingan Indonesia-belanda, yang berlangsung bulan oktober 1946 sampai November 1946 ini, disebut sebagai perundingan linggarjati, karena walaupun perundingan tersebut diawali dan diakhiri di Jakarta, namun keputusan-keputusan penting yang diambil, yang memperlihatkan keberhasilannya, berlangsung di linggarjati, kuningan, jawa barat.
Sebelum dilangsungkannya perundingan formal pada tanggal 22 oktober 1946, para ketua delegasi, yaitu sjahrir dan schermerhorn bertemu pada tanggal 16 oktober 1946 untuk menentukan agenda perundingan politik Indonesia-belanda. Sjahrir mengusulkan agar dalam perundingan Indonesia-belanda ini harus bisa dicapai hal-hal sebagai berikut :
Sebelum dilangsungkannya perundingan formal pada tanggal 22 oktober 1946, para ketua delegasi, yaitu sjahrir dan schermerhorn bertemu pada tanggal 16 oktober 1946 untuk menentukan agenda perundingan politik Indonesia-belanda. Sjahrir mengusulkan agar dalam perundingan Indonesia-belanda ini harus bisa dicapai hal-hal sebagai berikut :
- Batas wilayah RI, hubungan RI dan wilayah lain, serta hubungan RI-Belanda.
- Masalah tentara belanda, jumlah dan tugas mereka di Indonesia.
- Masalah ekonomi dan kekurangan dimasa datang.
- Perwakilan RI diluar negeri, masalah kebudayaan dan soal bangsa.
Hal - hal diatas ternyata dapat disepakati oleh kedua pihak. Pada saat itu juga disepakati bahwa perundingan-perundingan awal akan berlangsung bergantian ditempat kediaman sjahrir, di pegangsaan timur 56, dan ditempat kediaman schermerhorn di istana Rijswijk (sekarang istana Negara). Ketua perundingan akan dijabat bergantian. Delegasi RI terdiri dari Sutan Sjahrir, Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. A.K. Gani, dan Mr. Mohammad Roem, sedangkan menjadi sekretaris delegari Indonesia adalah Mr. Ali Budiardjo.
Empat pertemuan formal pertama yang diselenggarakan di Jakarta membicarakan materi pokok yang harus disetujui kedua belah pihak dalam bentuk suatu perjanjian tertulis. Dua hal mendasar yang dirundingkan dalam pertemuan tersebut adalah ketatanegaraan yang akan dibangun kemudian (RIS) dan sebuah Uni Indonesia-Belanda. Setelah secara panjang lebar dirundingkan, akhirnya disetujuilah rancangan ketatanegaraan yang akan dibangun bersama dan bukan status RI pada saat itu. Mengenai hal yang kedua, yaitu Uni Indonesia-Belanda, tidak terdapat kesepakatan diantara kedua belah pihak. Pihak belanda, terutama Van Poll dari KPV, dengan gencar memperjuangkan adanya Uni Indonesia-Belanda, tetapi RI menolaknya. Bahkan Amir Sjarifuddin menyatakan kekhawatirannya, jangan-jangan ini dapat menjadi sebuah “superstaat” (Negara super). Delegasi RI mengusulkan untuk menyusun sebuah draf persetujuan yang akan menjadi landasan bagi perundingan selanjutnya.
Draf persetujuan ini diserahkan oleh Van Mook kepada Sjahrir pada pertemuan informal tanggal 2 November 1946. Setelah mempelajari draf, pada pertemuan 3 november 1946, pihak RI menyatakan keberatannya. Mereka meminta waktu untuk membicarakannya dengan pemerintah di Yogyakarta. Tanggal 5 November 1946, Sjahrir bertemu secara informal dengan Schermerhorn dan Lord Killearn. Dalam pertemuan itu Sjahrir menekankan bahwa Yogyakarta keberatan atas isi rancangan tersebut. Maka Schermerhorn mengusulkan agar Soekarno dan Hatta dihadirkan saja pada pertemuan selanjutnya.
Karena Soekarno-Hatta tidak mungkin ke Jakarta dan delegasi belanda tidak diizinkan oleh pemerintahnya untuk datang ke Yogyakarta, maka Maria Ulfah, menteri sosial dalam kabinet Sjahrir II, mengusulkan agar perundingan dilanjutkan di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat, dimana disitu tersedia fasilitas perundingan. Dengan demikian pertemuan kelima sampai kedelapan berlangsung di Linggarjati. Ketika Lord Killearn mengusulkan agar pihaknya hadir dalam perundingan Indonesia-Belanda, usul itu ditolak oleh delegasi RI dan Belanda, walaupun akhirnya disepakati pada rapat pleno bahwa Lord Killearn dan stafnya bisa hadir.
Perundingan linggarjati ini memiliki arti penting dan menentukan, karena jika perundingan tersebut gagal dilaksanakan akan memunculkan dampak yang kurang baik. Sebelum perundingan, Sjahrir pernah memberitahukan delagasi belanda, bahwa jika perundingan ini gagal ia akan meletakan jabatannya sebagai perdana menteri. Schermerhorn pun menyatakan bahwa kalau perundingan itu gagal dia akan kembali ke negeri belanda. Bahkan pimpinan tentara belanda mengungumkan bahwa jika sampai tanggal 30 november 1946 tidak tercapai kesepakatan, Belanda akan menyerbu Yogyakarta. Ini berarti bahwa Republik Indonesia berada dalam bahaya. Hal ini berkaitan dengan keputusan tentara inggris yang meninggalkan jawa dan sumatera paling lambat pada tanggal 30 november 1946.
Sejak awal tahun 1946, tentara belanda dalam jumlah besar telah diizinkan oleh inggris untuk memasuki jawa dan sumatera. Selain itu masih banyak lagi tentara belanda yang menunggu di Irian Barat dan Australia. Itu artinya akan terjadi perang besar antara Indonesia-Belanda. Disadari oleh pihak Pemerintah RI, bahwa secara fisik amat berat bagi TNI untuk melawan tentara belanda dan kalau terjadi perang akan menelan korban di pihak rakyat yang tidak sedikit jumlahnya.
Bayangan perang yang tidak seimbang itulah yang mendorong Soekarno-Hatta mengambil keputusan penting di Kuningan untuk menerima naskah persetujuan . jika perundiangan Indonesia-Belanda tersebut dapat berakhir dengan sukses, maka kedudukan RI menjadi lebih kuat, terutama karena adanya campur tangan kekuatan politik internasional dalam soal proses dekolonisasi Indonesia.
Empat pertemuan formal pertama yang diselenggarakan di Jakarta membicarakan materi pokok yang harus disetujui kedua belah pihak dalam bentuk suatu perjanjian tertulis. Dua hal mendasar yang dirundingkan dalam pertemuan tersebut adalah ketatanegaraan yang akan dibangun kemudian (RIS) dan sebuah Uni Indonesia-Belanda. Setelah secara panjang lebar dirundingkan, akhirnya disetujuilah rancangan ketatanegaraan yang akan dibangun bersama dan bukan status RI pada saat itu. Mengenai hal yang kedua, yaitu Uni Indonesia-Belanda, tidak terdapat kesepakatan diantara kedua belah pihak. Pihak belanda, terutama Van Poll dari KPV, dengan gencar memperjuangkan adanya Uni Indonesia-Belanda, tetapi RI menolaknya. Bahkan Amir Sjarifuddin menyatakan kekhawatirannya, jangan-jangan ini dapat menjadi sebuah “superstaat” (Negara super). Delegasi RI mengusulkan untuk menyusun sebuah draf persetujuan yang akan menjadi landasan bagi perundingan selanjutnya.
Draf persetujuan ini diserahkan oleh Van Mook kepada Sjahrir pada pertemuan informal tanggal 2 November 1946. Setelah mempelajari draf, pada pertemuan 3 november 1946, pihak RI menyatakan keberatannya. Mereka meminta waktu untuk membicarakannya dengan pemerintah di Yogyakarta. Tanggal 5 November 1946, Sjahrir bertemu secara informal dengan Schermerhorn dan Lord Killearn. Dalam pertemuan itu Sjahrir menekankan bahwa Yogyakarta keberatan atas isi rancangan tersebut. Maka Schermerhorn mengusulkan agar Soekarno dan Hatta dihadirkan saja pada pertemuan selanjutnya.
Karena Soekarno-Hatta tidak mungkin ke Jakarta dan delegasi belanda tidak diizinkan oleh pemerintahnya untuk datang ke Yogyakarta, maka Maria Ulfah, menteri sosial dalam kabinet Sjahrir II, mengusulkan agar perundingan dilanjutkan di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat, dimana disitu tersedia fasilitas perundingan. Dengan demikian pertemuan kelima sampai kedelapan berlangsung di Linggarjati. Ketika Lord Killearn mengusulkan agar pihaknya hadir dalam perundingan Indonesia-Belanda, usul itu ditolak oleh delegasi RI dan Belanda, walaupun akhirnya disepakati pada rapat pleno bahwa Lord Killearn dan stafnya bisa hadir.
Perundingan linggarjati ini memiliki arti penting dan menentukan, karena jika perundingan tersebut gagal dilaksanakan akan memunculkan dampak yang kurang baik. Sebelum perundingan, Sjahrir pernah memberitahukan delagasi belanda, bahwa jika perundingan ini gagal ia akan meletakan jabatannya sebagai perdana menteri. Schermerhorn pun menyatakan bahwa kalau perundingan itu gagal dia akan kembali ke negeri belanda. Bahkan pimpinan tentara belanda mengungumkan bahwa jika sampai tanggal 30 november 1946 tidak tercapai kesepakatan, Belanda akan menyerbu Yogyakarta. Ini berarti bahwa Republik Indonesia berada dalam bahaya. Hal ini berkaitan dengan keputusan tentara inggris yang meninggalkan jawa dan sumatera paling lambat pada tanggal 30 november 1946.
Sejak awal tahun 1946, tentara belanda dalam jumlah besar telah diizinkan oleh inggris untuk memasuki jawa dan sumatera. Selain itu masih banyak lagi tentara belanda yang menunggu di Irian Barat dan Australia. Itu artinya akan terjadi perang besar antara Indonesia-Belanda. Disadari oleh pihak Pemerintah RI, bahwa secara fisik amat berat bagi TNI untuk melawan tentara belanda dan kalau terjadi perang akan menelan korban di pihak rakyat yang tidak sedikit jumlahnya.
Bayangan perang yang tidak seimbang itulah yang mendorong Soekarno-Hatta mengambil keputusan penting di Kuningan untuk menerima naskah persetujuan . jika perundiangan Indonesia-Belanda tersebut dapat berakhir dengan sukses, maka kedudukan RI menjadi lebih kuat, terutama karena adanya campur tangan kekuatan politik internasional dalam soal proses dekolonisasi Indonesia.
Perundingan Linggarjati dihadiri oleh:
a. Belanda, diwakili oleh Prof. Schermerhorn, De Boer, dan van Pool.
b. Indonesia, diwakili oleh Sutan Syahrir, dan
c. Inggris diwakili oleh Lord Killearn (sebagai pihak penengah).
Perundingan yang dipimpin oleh Lord Killearn ini menghasilkan suatu persetujuan yang disebut Persetujuan Linggarjati.
Berikut ini dikutipkan beberapa isi Perjanjian Linggarjati:
a. Belanda, diwakili oleh Prof. Schermerhorn, De Boer, dan van Pool.
b. Indonesia, diwakili oleh Sutan Syahrir, dan
c. Inggris diwakili oleh Lord Killearn (sebagai pihak penengah).
Perundingan yang dipimpin oleh Lord Killearn ini menghasilkan suatu persetujuan yang disebut Persetujuan Linggarjati.
Berikut ini dikutipkan beberapa isi Perjanjian Linggarjati:
- Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi, Sumatra, Jawa, dan Madura.
- Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
- Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Setelah perjanjian tersebut ditandatangani timbul sikap pro dan kontra yang mengakibatkan Kabinet Syahrir jatuh dan Presiden Soekarno membentuk kabinet baru yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin.
Berikut ini beberapa alasan pihak Republik Indonesia menerima hasil Persetujuan Linggarjati.
Berikut ini beberapa alasan pihak Republik Indonesia menerima hasil Persetujuan Linggarjati.
- Cara damai merupakan jalan terbaik, mengingat militer Indonesia masih di bawah Belanda.
- Cara damai akan mengundang simpati dunia internasional.
- Perdamaian dan gencatan senjata memberi peluang bagi Indonesia untuk melakukan konsolidasi.
Perundingan Linggarjati ternyata berhasil mengundang simpati dunia internasinal. Hal ini terbukti dengan adanya pengakuan kedaulatan oleh Inggris, Amerika Serikat, Mesir, lebanon, Suriah, Afganistan, Myanmar, Yaman, Saudi Arabia, dan Uni Soviet. Meskipun Persetujuan Linggarjati telah ditandatangani, hubungan Indonesia - Belanda tidak bertambah baik. Perbedaan penafsiran mengenai beberapa pasal persetujuan menjadi pangkal perselisihan. Pihak Belanda tidak dapat menahan diri dan melanjutkan agresinya dengan aski militer pada tanggal 21 Juli 1947. Aksi militer yang dilakukan Belanda ini dinamakan dengan Agresi Militer Belanda 1.
Sumber : dari berbagai sumber
Post a Comment