Agresi Militer Belanda I terhadap Indonesia mendapatkan kecaman dan reaksi keras dari dunia internasional. Aksi militer yang dilakukan Belanda terhadap Republik Indonesia tersebut merupakan suatu ancaman terhadap perdamaian dunia. Dewan Keamanan PBB yang mulai memerhatikan masalah Indonesia - Belanda itu akhirnya menyetujui usul Amerika Serikat, yang untuk mengawasi penghentian permusuhan itu harus dibentuk suatu badan komisi jasa-jasa baik yang kemudian disebut dengan Komisi Tiga Negara (KTN).

   Anggota KTN terdiri atas Richard Kirby (wakil dari Australia yang dipilih oleh Indonesia), Paul van Zeeland (wakil dari Belgia yang dipilih oleh Belanda), dan Dr. Frank B. Graham (wakil dari Amerika Serikat yang dipilih oleh Belgia dan Australia). Melalui KTN, berhasil diadakan Perundingan Renville yang dilaksanakan di Kapal Renville.

   Perundingan Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Berikut ini adalah pihak-pihak yang menghandiri Perundingan Renville:

1. PBB sebagai mediator, diwakili oleh Grank Graham (ketua) dan Richard Kirby (anggota).
2. Delegasi Belanda, diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmodjo (ketua).
3. Delegasi Indonesia, diwakili oleh Mr. Amir Syarifuddin (ketua).

   Perundingan ini berjalan alot, karena kedua pihak berpegang teguh pada pendiriannya masing-masing. Meski perundingan berlangsung alot, akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948 naskah Persetujuan Renville berhasil ditandatangani.

 Berikut ini adalah hasil (isi) dari Perundingan Renville:
  1. Penghentian tembak-menembak.
  2. Daerah-daerah di belakang Garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
  3. Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
  4. Dalam Uni Indonesia Belanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan Kerajaan Belanda.
   Perundingan Renville yang ditandatangani kedua belah pihak tersebut mengakibatkan posisi Indonesia semakin sulit dan wilayah Indonesia semakin sempit. Kesulitan itu ditambah lagi dengan blokade ekonomi yang dilaksanakan Belanda.

   Diterimanya kesepakatan Renville ini juga mengakibatkan kabinet Amir Syarifuddin jatuh. Amir Syarifuddin akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 23 Januari 1948.

   Kabinet Amir Syarifuddin kemudian digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada masa Kabinet Hatta, Mohammad Hatta merangkap jabatan yaitu sebagai wakil presiden Republik Indonesia dan perdana menteri. Kabinet Hatta berusaha menaati hasil perundingan Renville. Tujuannya adalah agar strategi diplomasi masih dapat dijalankan. Keputusan-keputusan Perundingan Renville mengalami hal yang sama dengan Persetujuan Linggarjati. Belanda melakukan aksi militernya yang kedua pada tanggal 19 Desember 1948.

Post a Comment

 
Top