Husein Sastranegara lahir di Cianjur, Jawa Barat pada 20 Januari 1919. Menurut catatan sejarah, dilihat dari latar belakang keluarga, Husein Sastranegara adalah keturunan ningrat Priangan dan golongan menengah bumiputera. Ayah Husein, Rd. Demang Ishak Sastranegara adalah seorang Pangreh peraja (Demang) zaman Belanda dan pernah menjabat sebagai wedana Ujung Berung, pejabat bupati di Tasikmalaya selama 17 bulan dan patih Tasikmalaya.

   Sejak kecil Husein bercita-cita menjadi seorang perwira di saat ia masih bersekolah di Europese Lagere School (ELS) atau setingkat SD di Bandung. Kemudian Husein melanjutkan ke Hager Burger School (HBS) di Bandung dan pindah ke HBS KWDRI di Jakarta lulus pada 1939. Demi mewujudkan impiannya, Husein meneruskan belajar di Techisch Hoge School (THS) (sekarang ITB).

   Setelah lulus dari THS, karier di dunia penerbangannya bermula saat menjadi penerbang pesawat bermesin tunggal. Usianya yang muda telah menunjukkan prestasi, maka ia dipercaya menjadi pengurus Lanud Andir, hingga aktif sebagai penerbang uji coba pesawat-pesawat bekas Jepang.

   Pecahnya Perang Dunia II pada 1939 berdampak langsung pada nasib sekolah dan perjalanan hidup Husein. Ketika Belanda menduduki Jerman, pemerintah Hindia Belanda menerapkan siasat menarik rakyat Indonesia dengan memberi kesempatan kepada pemuda Indonesia bekerja di bidang penerbangan militer. Peluang ini ditanggapi oleh Husein dengan mendaftarkan ke sekolah Militare Luchvaart School atau Luchtvaart di Kalijati Subang pada 1939. Husein termasuk salah satu dari 10 orang pemuda pribumi yang diterima untuk mengukuti pendidikan perwira penerbang.

   Pada tahun itu ada peristiwa sejarah penting saat Sekolah Penerbang yang berlokasi di Kalijati Subang digabung dengan Sekolah Pengintai di Lapangan Andir Bandung. Dari 10 orang siswa yang masuk, hanya lima orang yang berhasil mendapat brevet penerbang, yakni Husein Sastranegara, Agustinus Adisutjipto, Sambodja Hurip, Sulistiyo dan Sujono.

   Bersama dengan dua orang rekannya, Sujono dan Sulistyo, Husein hanya mendapat KMB (Kleine Militaire Brevet) atau lisensi menerbangkan pesawat–pesawat bermesin tunggal.

   Saat itu beredar kabar bahwa Lapangan Udara Andir dikuasai kembali oleh tentara Jepang dan pimpinan diambil alih oleh Inggris melalui Jepang. Tidak saja Lapangan Udara Andir, Bandung pun harus ditinggalkan para pejuang RI, termasuk Husein di dalamnya. Akhirnya Husein pun kemudian ikut hijrah ke ibukota perjuangan Yogyakarta dan turut bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian penerbangan.

   Pada 9 April 1946 TKR Penerbangan diubah menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Di Yogyakarta, Husein juga melanjutkan sekolah penerbangan, setelah selesai mengikuti pendidikan, Husein yang perwira operasi AURI diangkat menjadi instruktur di sekolah penerbangan tersebut.

   Pada 1945-1946 AURI disibukkan dengan pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang. Husein yang ingin memanfaatkan pesawat tersebut, mencoba menerbangkan rongsokan seperti Curen, Cukiu dan pembom Hayabusha Diponegoro-1.

   Pengalaman terbang Husein di antaranya melakukan penerbangan formasi dari Lapangan Udara Maguwo Yogyakarta ke Lapangan Udara Gorda Serang. Penerbangan formasi lima buah pesawat Curen dari Yogyakarta ke Cibeureum Tasikmalaya dalam rangka peresmian lapangan terbang tersebut pada 10 Juni 1946.

   Saat Husein berpangkat terakhirnya sebagai Mayor Udara, pada akhir September 1946 Husein mendapatkan tugas melakukan test flight (uji terbang) pesawat Cukiu di atas kota Yogyakarta. Untuk keperluan negara, pesawat rongsokan rencananya akan digunakan untuk mengangkut Perdana Menteri RI Sutan Syahril menuju Malang sehingga harus dilakukan test flight.

   Pesawat Cukiu yang diterbangkan Husein mengalami kerusakan mesin hingga jatuh terbakar di atas Gowongan Lor Yogyakarta sekaligus menewaskan Husein bersama juru teknik Rukidi. Husein gugur sebagai pahlawan dalam usia yang relatif masih muda, yakni 27 tahun dan jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta.

   Sebagai penghargaan negara atas jasa Husein, maka ia mendapat sejumlah anugerah tanda jasa dari pemerintah seperti Bintang Garuda, Bintang Satyalencana Perang Kemerdekaan RI, Piagam Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI Tahun 1957.

   Berkat pengabdiannya untuk bangsa dan negara, nama Husein Sastranegara diabadikan untuk mengganti Pangkalan Udara Andir sejak 17 Agustus 1952 berdasarkan Keputusan Kasau No 76 Tahun 1952. Husein dianggap sebagai salah seorang pejuang dan perintis yang telah meletakkan dasar-dasar pembangunan di bidang penerbangan nasional.

   Hingga kini namanya melekat menjadi nama sebuah pintu gerbang Kota Kembang, Bandara Internasional Husein Sastranegara, Bandung. Bahkan sebagai bentuk penghormatan kepadanya, maka dibangunlah sebuah patung Husein Sastranegara tepat di luar gedung bandara.

Sumber : Tabloid Aviasi

Post a Comment

 
Top