K.H. Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meinggal di Jakarta, 28 Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.
Kiayi Haji (KH) Zaenal Mustafa, pemimpin Pondok Pesantren Sukamanah Tasikmalaya Jawa Barat yang gigih merebut kemerdekaan melawan penindasan tentara Jepang di daerah tersebut. Untuk itu pada edisi XIII ini, Redaksi Tabloid “Taman Pramuka” mencoba mengangkat kisah heroiknya bagi para pembaca sekalian. Peristiwa yang menelan banyak korban jiwa ini terjadi sekitar pada 1944, setahun sebelum kemerdekaan RI diproklamirkan. Awal perlawanan KH. Zainal Mustafa bersama para santrinya diakibatkan karena adanya tindakan tanpa pri kemanusiaan tentara Jepang terhadap warga dan tokoh masyarakat (para Ulama) setempat. Mereka (pihak Jepang-Red) membantai para warga dengan membabi buta menggunakan senjata mesin otomatis dan berupaya menghancurkan rasa nasionalisme yang tengah dibangun diganti dengan dukungan sebesar-besarnya terhadap tentara Jepang yang ingin memenangkan perang di kawasan Asia Timur Raya. Diketahui sebelumnya Jepang berusaha mempolitisasi (Grass Root Policy) pengaruh para tokoh agama Islam terhadap warga masyarakat. Bahkan untuk menarik perhatian para tokoh agama ini, Pemerintah Militer Jepang sempat menyelenggarakan sebuah pertemuan besar (konferensi) di Hotel ‘Des Indes’ Jakarta pada 1 Juli 1944, tujuannya agar para tokoh agama tersebut mau diajak kerjasama. Namun niat Jepang mengadakan konferensi tersebut tidak murni sebuah kerjasama yang baik, tapi hanya sebagai taktik dan strategi ‘busuk’ ingin menjadikan seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tumbal’ tentara Jepang di kancah perang dunia ke-II. Keganjilan-keganjilan yang dilakukan Jepang akhirnya tercium para ulama termasuk oleh KH. Zaenal Mustafa yang selanjutnya melakukan perlawanan. Mereka (para ulama) sadar, dengan keberadaan pihak Jepang di Indonesia tidaklah menjadikan Indonesia terbebas dari penjajahan, sebaliknya sengaja ingin mengeskploitasi rakyat terutama kaum muda untuk membantu dalam memenangkan perang. Perlawanan KH. Zaenal Mustafa merupakan bentuk kekecewaan terhadap tipu daya Jepang yang bukan saja telah merugikan rakyat secara moril, namun secara materiilpun pihak Jepang telah merampas segala harta benda milik warga, terutama hasil bumi dari sawah dan ladang mereka. Termasuk rasa nasionalisme serta keyakinan beragama khususnya umat Islam.
“ Hoyong Merdeka”
Bentuk perlawanan yang dilakukan KH.Zaenal Mustafa bersama para santrinya dilakukan secara sederhana. Hanya dengan dilandasi keyakinan ingin menghapus kebatilan dan “Hoyong Merdeka” (Ingin Merdeka-Red), mereka melancarkan perkawanan fisik. Namun serangan mereka terhadap tentara Jepang tidaklah berjalan mulus, pihak Jepangpun akhirnya mengetahui aksi serangan tersebut dan membalasnya secara membabi-buta, menganiaya serta membantai siapa saja hingga banyak jatuh korban jiwa terutama dari warga sipil. Serangan besar-besaran yang dilakukan Jepang saat itu terjadi pada 18 Februari 1944. Dalam peristiwa berdarah ini, puluhan santri hingga ratusan warga sipil gugur dan KH. Zaenal Mustafa sebagai pemimpin perlawananpun tertangkap. Tidak hanya KH. Zaenal Mustafa yang ditangkap, sekitar 21 tokoh agama Islam setempat lainnya ikut digelandang pula ke markas tentara Jepang di Kota Bandung. Mereka dijebloskan kedalam tahanan dan diintrogasi disertai penyiksaan tanpa prikemanusiaan. Mendengar KH.Zaenal Mustafa tertangkap, pemimpin pesantren lainnya seperti Haji Madriyas, Kiyai Mukasan, Haji Kartiwa, Haji Kusen dan Kiayi Srenseng dari Indramayu bangkit dan mengadakan perlawanan juga kepada pihak Jepang. Termasuk KH. Ahmad Sanusi dari Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi dan KH. Abdul Halim dari Majalengka. Tapi nasib KH. Zaenal Mustafa tetap tak terselamatkan. Bahkan sekitar 25 Oktober 1944 ( berdasarkan dokumen dari Kepala Kantor Erevel Belanda, Ancol Jakarta) beliau dan ulama yang tertangkap lainnya akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh pihak Jepang di Jakarta.
Pesantren Sukamanah Tasikmalaya
Sebagai seorang pemimpin Pondok Pesantren yang terletak di Desa Sukamanah Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya, KH. Zaenal Mustafa telah banyak membina dan mencetak banyak santri handal di bidang agama Islam. Para santri yang beliau bina tidak hanya berasal dari Kab. Tasikmalaya dan daerah sekitarnya saja, melainkan dari kota-kota lainnya di Tanah Air. Santri-santri ini ditampung dalam asrama. Kala itu ada sekitar 6 asrama untuk menampung 600-700 santri. Sedangkan para santri yang tidak menginap (Santri Kalong) jumlahnya lebih banyak. Namun setelah kepergian KH.Zaenal Mustafa, aktivitas belajar mengajar di dalam Pesantren sedikit demi sedikit menjadi berkurang, bahkan sempat mengalami vakum selama 6 tahun. Memasuki 1950, atas dasar ingin membangkitkan kejayaan pesantren Sukamanah, KH. Fuad Muhsin bersama K.U. Abdul Aziz dan rekan-rekan lainnya, menghidupkan kembali aktivitas belajar mengajar Pesantren Sukamanah. Menginjak 2006, setelah wafatnya KH.Fuad Muhsin, kepemimpinan Pesantren Sukamanah dijalankan oleh KH.A.Tharir Fuad (putra KH. Fuad Muhsin) dan atas jasa-jasa KH. Zaenal Mustafa terhadap Negara, Pemerintah RI memberikan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional pada 20 November 1972. Selain itu, dalam rangka meneruskan perjuangan KH. Zaenal Mustafa (alm) dalam bidang pendidikan, salah seorang santrinya Syarif Hidayat berinisiatif mendirikan Yayasan KH. Zaenal Mustafa pada 17 Agustus 1959 dan hingga kini, yayasan tersebut memiliki dua Pondok Pesantren (Pesantren Sukahideung dan Sukamanah), Madrasah Ibtidaiah, dua Madrasah Diniah, TKA/TPA, SMP, SMP, Lembaga Pelayanan Masyarakat meliputi Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) dan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Makam Pahlawan Nasional KH. Zaenal Mustafa berada di Desa Sukamanah, Sukarapih, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya.
“ Hoyong Merdeka”
Bentuk perlawanan yang dilakukan KH.Zaenal Mustafa bersama para santrinya dilakukan secara sederhana. Hanya dengan dilandasi keyakinan ingin menghapus kebatilan dan “Hoyong Merdeka” (Ingin Merdeka-Red), mereka melancarkan perkawanan fisik. Namun serangan mereka terhadap tentara Jepang tidaklah berjalan mulus, pihak Jepangpun akhirnya mengetahui aksi serangan tersebut dan membalasnya secara membabi-buta, menganiaya serta membantai siapa saja hingga banyak jatuh korban jiwa terutama dari warga sipil. Serangan besar-besaran yang dilakukan Jepang saat itu terjadi pada 18 Februari 1944. Dalam peristiwa berdarah ini, puluhan santri hingga ratusan warga sipil gugur dan KH. Zaenal Mustafa sebagai pemimpin perlawananpun tertangkap. Tidak hanya KH. Zaenal Mustafa yang ditangkap, sekitar 21 tokoh agama Islam setempat lainnya ikut digelandang pula ke markas tentara Jepang di Kota Bandung. Mereka dijebloskan kedalam tahanan dan diintrogasi disertai penyiksaan tanpa prikemanusiaan. Mendengar KH.Zaenal Mustafa tertangkap, pemimpin pesantren lainnya seperti Haji Madriyas, Kiyai Mukasan, Haji Kartiwa, Haji Kusen dan Kiayi Srenseng dari Indramayu bangkit dan mengadakan perlawanan juga kepada pihak Jepang. Termasuk KH. Ahmad Sanusi dari Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi dan KH. Abdul Halim dari Majalengka. Tapi nasib KH. Zaenal Mustafa tetap tak terselamatkan. Bahkan sekitar 25 Oktober 1944 ( berdasarkan dokumen dari Kepala Kantor Erevel Belanda, Ancol Jakarta) beliau dan ulama yang tertangkap lainnya akhirnya dijatuhi hukuman mati oleh pihak Jepang di Jakarta.
Pesantren Sukamanah Tasikmalaya
Sebagai seorang pemimpin Pondok Pesantren yang terletak di Desa Sukamanah Kecamatan Singaparna Kabupaten Tasikmalaya, KH. Zaenal Mustafa telah banyak membina dan mencetak banyak santri handal di bidang agama Islam. Para santri yang beliau bina tidak hanya berasal dari Kab. Tasikmalaya dan daerah sekitarnya saja, melainkan dari kota-kota lainnya di Tanah Air. Santri-santri ini ditampung dalam asrama. Kala itu ada sekitar 6 asrama untuk menampung 600-700 santri. Sedangkan para santri yang tidak menginap (Santri Kalong) jumlahnya lebih banyak. Namun setelah kepergian KH.Zaenal Mustafa, aktivitas belajar mengajar di dalam Pesantren sedikit demi sedikit menjadi berkurang, bahkan sempat mengalami vakum selama 6 tahun. Memasuki 1950, atas dasar ingin membangkitkan kejayaan pesantren Sukamanah, KH. Fuad Muhsin bersama K.U. Abdul Aziz dan rekan-rekan lainnya, menghidupkan kembali aktivitas belajar mengajar Pesantren Sukamanah. Menginjak 2006, setelah wafatnya KH.Fuad Muhsin, kepemimpinan Pesantren Sukamanah dijalankan oleh KH.A.Tharir Fuad (putra KH. Fuad Muhsin) dan atas jasa-jasa KH. Zaenal Mustafa terhadap Negara, Pemerintah RI memberikan penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional pada 20 November 1972. Selain itu, dalam rangka meneruskan perjuangan KH. Zaenal Mustafa (alm) dalam bidang pendidikan, salah seorang santrinya Syarif Hidayat berinisiatif mendirikan Yayasan KH. Zaenal Mustafa pada 17 Agustus 1959 dan hingga kini, yayasan tersebut memiliki dua Pondok Pesantren (Pesantren Sukahideung dan Sukamanah), Madrasah Ibtidaiah, dua Madrasah Diniah, TKA/TPA, SMP, SMP, Lembaga Pelayanan Masyarakat meliputi Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) dan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren). Makam Pahlawan Nasional KH. Zaenal Mustafa berada di Desa Sukamanah, Sukarapih, Kecamatan Sukarame, Kabupaten Tasikmalaya.
Sumber : dari berbagai sumber
Post a Comment