Muhammad Isa Anshary (lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 1 Juli 1916 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 11 Desember 1969 pada umur 53 tahun) adalah politisi dan tokoh Islam asal Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai ketua umum Persatuan Islam, anggota konstituante, dan merupakan juru bicara Partai Masyumi pada era-1950-an. Kepiawaiannya dalam berpidato dan mempengaruhi massa, menyebabkan ia dijuluki sebagai "singa podium".
“Tak.. tak.. tak..,” bunyi mesin ketik tua tak mampu mengejar ide yang meluap-luap dari kepalanya. Ketika itu, sehari sebelum hari raya Idul Fitri 1369 H, Isa Anshary tengah menuangkan ide untuk khutbah akbar esok paginya. Hingga dua halaman penuh, gagasannya ia tuliskan dalam kertas putih. Ia simpan rapi tulisannya, sebagaimana kebiasaan dia yang juga selalu rapi menata ide di kepalanya.
Kata-katanya menggelegar. Suaranya lantang membahana, menggebu bak kobaran api yang siap melalap tubuh siapa saja yang berada didekatnya. Saat kata-kata berhamburan dari mulutnya, semua mata tertumbuk pada sosok pemuda gempal dengan bahu agak bungkuk ini. Taujih-taujih politis yang membakar membuat merah setiap telinga yang mendengarnya, memacu adrenalin untuk beraksi menumpas setiap ketidakadilan.
Teriakan kebenaran itu menjadi daya tarik yang luar biasa. Berbagai kalangan masyarakat berkumpul mengerubungi pemuda kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, tahun 1916 ini. Kepiawaiannya berorasi di atas mimbar membuat masyarakat tak sungkan memberi julukan “Singa Podium” yang tak terkalahkan.
Dialah Muhammad Isa Anshary. Teman seperjuangan Perdana Menteri Kelima Indonesia, Mohammad Natsir, menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan di negeri ini.
1932, di usianya yang baru menginjak 16 tahun, ia merantau ke Bandung untuk meneruskan pendidikannya di jenjang Sekolah Menengah Atas. Di kota inilah ia kemudian bertemu dengan Soekarno, jatuh cinta pada Persatuan Islam (Persis) dan kemudian lahir menjadi seorang dai politik yang diperhitungkan seantero nusantara.
“Sebelumnya Isa Anshary menamatkan pendidikannya di jenjang SMP di kota kelahirannya. Kemudian ia di Bandung bergabung dengan jamiyah Persis, dan berguru kepada Ahmad Hassan, sang ideolog Persis,” jelas Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M. Hum., Sejarawan yang juga mantan staf khusus Sekretariat Negara masa pemerintahan SBY jilid I.
Sejak muda, Isa Anshary taat dalam beragama dan sudah terbiasa malang melintang dalam dunia organisasi. Pertama kali ia menjadi ketua Persatuan Muslimin Indonesia Bandung, Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung, menjadi sekretaris Partai Islam Bandung dan ikut mendirikan Muhammadiyah cabang Bandung. Bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) tahun 1947 dan langsung mereorganisasi ormas ini, lantaran dinilai vakum sejak pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tak lama kemudian, akhirnya ia menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Persis periode 1953 -1960.
Dalam orasi dakwahnya yang berkobar-kobar, jauh membumbung tinggi meninggalkan tubuhnya yang mungil, Isa Anshary dinilai seorang politisi yang fundamentalis. Ia duduk di parlemen, di dewan konsituante dan berpolitik di Masyumi, lantas selalu meneriakkan kebenaran ke segala penjuru negeri dengan posi-sinya itu.
Isa Anshary termasuk dai yang berdakwah lewat jalur intelektual dan politik. Ia memanfaatkan kemampuannya berpolitik untuk mengatakan kebenaran. Dalam kancah ini, Masyumi menjadi ladangnya.
Baginya, berpolitik merupakan bagian tuntutan agama, sekaligus alat untuk mencapai cita-cita umat Islam. Ia selalu meneriakkan kebenaran walaupun pahit dirasakan. Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya sebagai politisi.
Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin Indonesia. Sepak terjangnya di bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Di mana ia memberikan pidato, pasti dipenuhi massa yang ingin mendengarkan orasinya. Bahkan lantaran ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran, ia seringkali keluar masuk penjara.
“Yang paling lama itu tahun 1962, sekitar dua tahun dia di penjara karena gerakan anti komunisnya,” papar Prof. Dadan kepada Alhikmah di sela-sela kesibukannya.
Tak hanya lisan, analisis-analisis politiknya yang cukup tajam pun tertuang dalam tulisan. Di antara kar-yanya adalah Bahaya Merah di Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Bukan Komunisto Fobi, tapi Keyakinan Islam (1960), Falsafah Perjuangan Islam (1949). Inilah Partai Masyumi (1954), Islam dan Demokrasi (1938), Islam dan Kolektivisme (1941), Islam dan Nasionalisme (1955), Islam Menentang Komunisme (1956), Islam Menghadapi Pemilihan Umum (l953), Ke Depan dengan Wajah Baru (1960), Manifes Perjuangan Persatuan Islam (1958), Mujahid Da’wah (1966), Partai Komunis Indonesia (PKI) Pembela Negara Asing (1955), Pegangan Melawan Fasisme Jepang (1942), Pesan Perjuangan (1961), Sebuah Manifesto (1952), Tugas dan Peranan Generasi Muda Islam dalam Pembinaan Orde Ban. (1966), Tuntunan Puasa (1940), Ummat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan Ummat Islam Menentukan Nasibnya (1961). Ada pula karya tulis lain, terutama dalam bentuk serial khotbah Jumat, khotbah hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan beberapa judul ceramah yang tidak sempat diterbitkan.
Karya-karyanya lebih banyak menyorot isu anti-komunisme, cum ceramah-ceramah dia. Sebagai ulama yang mempunyai naluri politik, Isa Anshary sangat dikagumi, baik oleh kawan maupun lawan.
Selama hidupnya berbagai posisi penting di pemerintahan dan organisasi keislaman sempat ia duduki, antara lain; Kepala Pusat Penerangan Gerakan Muslimin Indonesia, Kepala Departemen Agama dan Penerangan Komisaris RIS Jawa Barat, ketua umum Partai Masyumi Jawa Barat, anggota Dewan Pimpinan Masyumi, anggota Parlemen RI, ketua umum pusat Persis dan anggota Konstituante, dan penasihat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) perwakilan Jawa Barat.
“Tak.. tak.. tak..” bunyi mesin ketik tua tak mampu mengejar ide yang meluap-luap dari kepalanya. Ketika itu, sehari sebelum hari raya Idul Fitri 1369 H, Isa Anshary tengah menuangkan ide untuk khutbah akbar esok paginya. Hingga dua halaman penuh, gagasannya ia tuliskan dalam kertas putih. Ia simpan rapi tulisannya, sebagaimana kebiasaan dia yang juga selalu rapi menata ide di kepalanya.
“Tak.. tak.. tak..,” bunyi mesin ketik tua tak mampu mengejar ide yang meluap-luap dari kepalanya. Ketika itu, sehari sebelum hari raya Idul Fitri 1369 H, Isa Anshary tengah menuangkan ide untuk khutbah akbar esok paginya. Hingga dua halaman penuh, gagasannya ia tuliskan dalam kertas putih. Ia simpan rapi tulisannya, sebagaimana kebiasaan dia yang juga selalu rapi menata ide di kepalanya.
Kata-katanya menggelegar. Suaranya lantang membahana, menggebu bak kobaran api yang siap melalap tubuh siapa saja yang berada didekatnya. Saat kata-kata berhamburan dari mulutnya, semua mata tertumbuk pada sosok pemuda gempal dengan bahu agak bungkuk ini. Taujih-taujih politis yang membakar membuat merah setiap telinga yang mendengarnya, memacu adrenalin untuk beraksi menumpas setiap ketidakadilan.
Teriakan kebenaran itu menjadi daya tarik yang luar biasa. Berbagai kalangan masyarakat berkumpul mengerubungi pemuda kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, tahun 1916 ini. Kepiawaiannya berorasi di atas mimbar membuat masyarakat tak sungkan memberi julukan “Singa Podium” yang tak terkalahkan.
Dialah Muhammad Isa Anshary. Teman seperjuangan Perdana Menteri Kelima Indonesia, Mohammad Natsir, menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan di negeri ini.
1932, di usianya yang baru menginjak 16 tahun, ia merantau ke Bandung untuk meneruskan pendidikannya di jenjang Sekolah Menengah Atas. Di kota inilah ia kemudian bertemu dengan Soekarno, jatuh cinta pada Persatuan Islam (Persis) dan kemudian lahir menjadi seorang dai politik yang diperhitungkan seantero nusantara.
“Sebelumnya Isa Anshary menamatkan pendidikannya di jenjang SMP di kota kelahirannya. Kemudian ia di Bandung bergabung dengan jamiyah Persis, dan berguru kepada Ahmad Hassan, sang ideolog Persis,” jelas Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M. Hum., Sejarawan yang juga mantan staf khusus Sekretariat Negara masa pemerintahan SBY jilid I.
Sejak muda, Isa Anshary taat dalam beragama dan sudah terbiasa malang melintang dalam dunia organisasi. Pertama kali ia menjadi ketua Persatuan Muslimin Indonesia Bandung, Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia Bandung, menjadi sekretaris Partai Islam Bandung dan ikut mendirikan Muhammadiyah cabang Bandung. Bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) tahun 1947 dan langsung mereorganisasi ormas ini, lantaran dinilai vakum sejak pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tak lama kemudian, akhirnya ia menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Persis periode 1953 -1960.
Dalam orasi dakwahnya yang berkobar-kobar, jauh membumbung tinggi meninggalkan tubuhnya yang mungil, Isa Anshary dinilai seorang politisi yang fundamentalis. Ia duduk di parlemen, di dewan konsituante dan berpolitik di Masyumi, lantas selalu meneriakkan kebenaran ke segala penjuru negeri dengan posi-sinya itu.
Isa Anshary termasuk dai yang berdakwah lewat jalur intelektual dan politik. Ia memanfaatkan kemampuannya berpolitik untuk mengatakan kebenaran. Dalam kancah ini, Masyumi menjadi ladangnya.
Baginya, berpolitik merupakan bagian tuntutan agama, sekaligus alat untuk mencapai cita-cita umat Islam. Ia selalu meneriakkan kebenaran walaupun pahit dirasakan. Di bawah bendera Masyumi, ia semakin memperkuat posisinya sebagai politisi.
Tahun 1949, ia memimpin sebuah kongres Gerakan Muslimin Indonesia. Sepak terjangnya di bidang politik sempat menyedot perhatian massa. Di mana ia memberikan pidato, pasti dipenuhi massa yang ingin mendengarkan orasinya. Bahkan lantaran ketegasannya dalam menyampaikan kebenaran, ia seringkali keluar masuk penjara.
“Yang paling lama itu tahun 1962, sekitar dua tahun dia di penjara karena gerakan anti komunisnya,” papar Prof. Dadan kepada Alhikmah di sela-sela kesibukannya.
Tak hanya lisan, analisis-analisis politiknya yang cukup tajam pun tertuang dalam tulisan. Di antara kar-yanya adalah Bahaya Merah di Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), Bukan Komunisto Fobi, tapi Keyakinan Islam (1960), Falsafah Perjuangan Islam (1949). Inilah Partai Masyumi (1954), Islam dan Demokrasi (1938), Islam dan Kolektivisme (1941), Islam dan Nasionalisme (1955), Islam Menentang Komunisme (1956), Islam Menghadapi Pemilihan Umum (l953), Ke Depan dengan Wajah Baru (1960), Manifes Perjuangan Persatuan Islam (1958), Mujahid Da’wah (1966), Partai Komunis Indonesia (PKI) Pembela Negara Asing (1955), Pegangan Melawan Fasisme Jepang (1942), Pesan Perjuangan (1961), Sebuah Manifesto (1952), Tugas dan Peranan Generasi Muda Islam dalam Pembinaan Orde Ban. (1966), Tuntunan Puasa (1940), Ummat Islam Menghadapi Pemilihan Umum (1953), dan Ummat Islam Menentukan Nasibnya (1961). Ada pula karya tulis lain, terutama dalam bentuk serial khotbah Jumat, khotbah hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan beberapa judul ceramah yang tidak sempat diterbitkan.
Karya-karyanya lebih banyak menyorot isu anti-komunisme, cum ceramah-ceramah dia. Sebagai ulama yang mempunyai naluri politik, Isa Anshary sangat dikagumi, baik oleh kawan maupun lawan.
Selama hidupnya berbagai posisi penting di pemerintahan dan organisasi keislaman sempat ia duduki, antara lain; Kepala Pusat Penerangan Gerakan Muslimin Indonesia, Kepala Departemen Agama dan Penerangan Komisaris RIS Jawa Barat, ketua umum Partai Masyumi Jawa Barat, anggota Dewan Pimpinan Masyumi, anggota Parlemen RI, ketua umum pusat Persis dan anggota Konstituante, dan penasihat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) perwakilan Jawa Barat.
“Tak.. tak.. tak..” bunyi mesin ketik tua tak mampu mengejar ide yang meluap-luap dari kepalanya. Ketika itu, sehari sebelum hari raya Idul Fitri 1369 H, Isa Anshary tengah menuangkan ide untuk khutbah akbar esok paginya. Hingga dua halaman penuh, gagasannya ia tuliskan dalam kertas putih. Ia simpan rapi tulisannya, sebagaimana kebiasaan dia yang juga selalu rapi menata ide di kepalanya.
Allah ternyata menggariskan lain. Tiba-tiba saja Isa Anshary jatuh sakit dan langsung dilarikan ke rumah sakit Muhammadiyah, Bandung. Tepat 11 Desember 1969, atau 2 Syawal 1467 H, sosok kharismatik yang orasi-orasinya sungguh menggetarkan banyak kalangan itu berpulang ke pangkuan-Nya.
Naskah khutbah yang sudah di-selesaikan memang tak sempat ia bacakan. Namun, pesan-pesan perlawanan dalam orasi-orasinya yang membakar, pun karyanya, akan terus menyemangati barisan umat, penentang kezaliman.
Naskah khutbah yang sudah di-selesaikan memang tak sempat ia bacakan. Namun, pesan-pesan perlawanan dalam orasi-orasinya yang membakar, pun karyanya, akan terus menyemangati barisan umat, penentang kezaliman.
Sumber : Wikipedia & alhikmahonline
Post a Comment