Dokter Wahidin Sudirohusodo lahir tanggal 7 Januari 1852 di Mlati, Sleman, Jogjakarta. Ia anak seorang priyayi desa alias priyayi rendahan. Meski demikian, ia tercatat sebagai anak pribumi pertama yang diterima di Sekolah Dasar Anak Eropa (Europesche Lagere School, ELS).
Wahidin juga sempat menyenyam pendidikan di sekolah dokter Jawa STOVIA. Begitu lulus, ia berdinas sebagai dokter Jawa. Tiga puluh tahun lebih ia menggeluti pekerjaannya itu. Alhasil, karena sering bersentuhan dengan rakyat banyak, hati dokter ini mulai tergugah.
Akhirnya, pada tahun 1901, ia menjadi pemimpin redaksi majalah bernama Retnodhoemillah. Wahidin sering menumpahkan fikiran-fikirannya melalui majalah berbahasa Jawa dan Melayu itu. Tak heran, banyak yang menyebut Wahidin sebagai jurnalis pribumi pertama.
Wahidin sangat dipengaruhi oleh dua peristiwa: kebangkitan gerakan Turki Muda dan pergerakan nasionalis Tiongkok. Di Hindia Belanda saat itu, orang Tionghoa dan Arab sudah mendirikan organisasi lebih duluan: orang Tionghoa mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) tahun 1900, sedangkan orang Arab mendirikan Sumatra Batavia Alkhairah (1902) dan Jamiatul Khair (1904).
Sedangkan sebangsanya, orang-orang Jawa, masih tertidur pulas saat itu. Ia sendiri merasa, pekerjaannya sebagai dokter tak begitu berguna bagi kemajuan bangsanya. “Bangsa ini tetap tidur dalam impian kacau tapi indah. Seorang dokter tak bisa hanya menyembuhkan luka pada badan seorang pasien, tapi juga harus menyembuhkan luka sebuah bangsa yang sedang sakit.”
Wahidin, dokter yang mencintai bangsanya itu, memilih berjuang untuk membangun sebuah organisasi modern. Ia menggunakan tabungannya selama 30 tahun untuk berkeliling pulau Jawa. Dan mimpinya separuh terwujud ketika pribumi mulai mendirikan organisasi.
Akhir tahun 1906, pensiunan dokter itu ketemu dengan anak-anak muda di sekolah dokter Jawa–STOVIA. Dokter Wahidin, nama pensiunan itu, diberi kesempatan menyampaikan gagasannya di forum “Demonstrasi Demokrasi”. Ia pergunakan betul panggung itu untuk menggugah semangat berorganisasi.
Kali ini usaha dokter Wahidin tidak sia-sia. Beberapa pemuda tergugah: Soetomo dan dua bersaudara–Goenawan Mangoenkoesoemo dan Tjipto Mangoenkoesoemo. “Suaranya yang jelas dan tenang membuka hati dan fikiran saya. Ia membawa gagasan-gagasan baru dan membuka dunia baru yang meliput saya yang terluka dan sakit,” tulis Soetomo dalam bukunya, Kenang-Kenangan (1943), yang mengisahkan pertemuan itu.
Soetomo, yang ketika itu berumur 19 tahun, lansung tergerak. Hanya beberapa bulan setelah pertemuan itu, tepatnya 20 Mei 1908, ia dan kawan-kawannya di STOVIA mendirikan organisasi bernama “Boedi Oetomo”.
Tapi, ceramah dokter Wahidin tak hanya menggerakkan Soetomo. Seorang pelajar STOVIA yang tak lulus, Tirto Adhisoerjo (TAS), juga terbakar oleh ceramah Wahidin. Bahkan Tirto bergerak lebih duluan dibanding Soetomo. Pada tahun 1906, Ia mendirikan organisasi bernama “Sarekat Priyayi”.
Boleh dikatakan, organisasi pribumi pertama adalah Sarekat Priyayi. Pramoedya Ananta Toer mendaulat Sarekat Priyayi sebagai tonggak kebangkitan nasional. Ia tak setuju dengan penetapan 20 Mei 1908, tanggal lahirnya Boedi Oetomo, sebagai hari Kebangkitan Nasional.
Bagi Pram, Boedi Oetomo sejak kelahirannya hingga berubah menjadi Partai Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) tidak pernah beranjak dari statusnya sebagai organisasi kesukuan (Jawa).
Memang, pada akhir abad ke-19, berdiri organisasi pribumi bernama Tirtayasa di Karanganyar, Jawa Barat. Organisasi itu didirikan oleh sang Bupati Karanganyar, Tirto Koesoemo. Namun, Tirtayasa tak pantas disebut organisasi, namun lebih cocok disebut “paguyuban tradisional”. Sebab, pendirian organisasi ini bukan karena kemauan dan kepentingan bersama, melainkan karena kewibawaan seorang Bupati.
Dengan demikian, Wahidin bisa dianggap sebagai “penganjur organisasi modern” pertama. Begitu Boedi Oetomo didirikan, Wahidin telah bergabung di dalamnya dan mengambil peranan yang sangat aktif. Sayang sekali, kiprahnya di Boedi Oetomo tak begitu mulus. Perkembangan cepat Boedi Oetomo, terutama karena sokongan para priayi kalangan atas (Pangerang dan Bupati), justru mendepak Wahidin dan Soetomo untuk menyingkir. Kongres ke-II Boedi Oetomo di Jogjakarta, Desember 1908, mengalihkan kepemimpinan Boedi Oetomo ke tangan orang-orang tua (pinisepuh).
Post a Comment