Iwa Kusuma Sumantri seorang tokoh yang membangun bangsanya dengan multi cara. Dalam rangka merebut kemerdekaan, ia menanamkan pemahaman kepada teman-temannya di Perhimpunan Indonesia (PI), bahwa perjuangan adalah untuk mencapai kemerdekaan. Dalam membela nasib rakyat kecil, ia sering bersuara keras melalui media yang diterbitkannya. Setelah kemerdekaan, ia membangun bangsa melalui jabatannya di kementerian.

   Perjuangan bukan hanya dilakukan di medan pertempuran. Banyak sekali bidang yang bisa dijadikan ladang perjuangan, mulai dari pemerintahan, partai politik, dunia usaha, maupun pendidikan. Begitu pula halnya dengan Iwa Kusuma Sumantri. Setelah tak lagi menjabat sebagai Menteri ia membaktikan dirinya di dunia pendidikan. Melalui pendidikan generasi muda, ia turut membangun masa depan bangsa agar melangkah lebih maju guna mewujudkan kesejahteraan.

   Iwa Kusuma Sumantri lahir di Ciamis, 31 Mei 1899. Setamat dari sekolah untuk para calon pegawai negeri, yakni OSVIA (Opleiding School voor Indische Ambtenaren) di Bandung, ia hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan studi pada sekolah hukum (Recht School). Pendidikannya pada sekolah hukum berhasil diselesaikannya pada tahun 1921. Setahun kemudian ia bertolak ke Belanda untuk memperdalam ilmu hukumnya di Universitas Leiden.

   Saat masih berstatus sebagai pelajar, Iwa dikenal aktif berorganisasi dengan menjadi anggota Tri Koro Darmo yang merupakan cikal bakal organisasi para pemuda Jawa, Jong Java. Begitu pula saat tengah menimba ilmu di negeri Belanda, Iwa Kusuma memasuki organisasi mahasiswa Indonesia yang bernama Indonesisch Vereniging. Dan atas usulnya pula, organisasi tersebut kemudian berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia (PI), dan ia menjabat sebagai ketua.

   Selama satu tahun PI berada di bawah kepemimpinannya, yakni antara tahun 1923-1924, ia berhasil menegaskan bahwa PI berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pernyataan tersebut dituangkan dalam "Keterangan Azas" yang dikeluarkannya. Upaya PI dalam memperjuangkan kemerdekaan tersebut diwujudkan melalui persatuan seluruh bangsa tanpa membeda-bedakan suku, agama, dan golongan. PI juga menegaskan diri sebagai organisasi yang menganut paham non koperasi yang artinya tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda.

   Setelah 5 tahun lamanya ia bermukim di negeri kincir angin, pada tahun 1927 Iwa kembali ke Tanah Air. Guna mempraktekkan ilmu hukumnya ia membuka kantor pengacara di Bandung, Jakarta, dan Medan. Selain menjalankan profesinya sebagai pengacara, ia menerbitkan surat kabar bertajuk Matahari Indonesia yang memperjuangkan nasib rakyat kecil dengan membela perkara-perkara yang menimpa mereka, terutama kaum buruh yang bekerja di perkebunan-perkebunan besar milik Belanda di Sumatera Timur.

   Iwa merasa perlu melakukan pembelaan terhadap apa yang dialami kaum buruh tersebut karena mereka yang disebut "kuli kontrak" kerap kali mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Karena kepeduliannya terhadap nasib kaum buruh, Iwa kemudian diangkat menjadi Penasehat Persatuan Montir dan Pekerja Bengkel (Persatuan Motoris Indonesia).

   Pada Juli 1929, Iwa Kusuma Sumantri ditangkap akibat tulisan-tulisannya yang tajam di surat kabar yang diterbitkannya. Atas kegiatannya tersebut, ia harus mendekam di penjara di Medan selama hampir satu tahun. Kemudian dipindahkan ke Jakarta untuk diasingkan ke Bandaneira. Akhir Februari 1941, Iwa dipindahkan dari Bandaneira menuju Makassar.

   Meskipun menganut paham non koperasi dengan penjajah, Iwa terpaksa bekerja sebagai pegawai Jepang saat tentara Jepang menduduki wilayah Indonesia. Karena suatu alasan, ia pergi dari Makassar dengan alasan mengambil cuti dan kembali ke Bandung.

   Setelah kemerdekaan, jabatan Menteri Sosial dalam kabinet presidensial pertama dipercayakan padanya. Namun, karena perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem parlementer pada November 1945, ia hanya sempat memangku jabatan tersebut selama tiga bulan.

   Iwa kemudian bergabung dengan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka yang menentang politik pemerintah yang bersedia berunding dengan Belanda. Pada 3 Juli 1946, beberapa tokoh Persatuan Perjuangan memaksa Presiden Soekarno untuk menandatangani konsep yang mereka buat mengenai perubahan pemerintahan. Tindakan tersebut dianggap sebagai usaha merebut kekuasaan. Iwa pun ditangkap dan dipenjarakan bersama beberapa tokoh Persatuan Perjuangan lainnya seperti Tan Malaka, Muhammad Yamin, Chaerul Saleh dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka baru dibebaskan pada Agustus 1948.

   Setelah menjalani hukumannya di penjara, pasca pengakuan kedaulatan RI, Iwa kembali duduk dalam jajaran pemerintah sebagai anggota DPR pada periode RIS. Iwa yang sempat menjabat sebagai Menteri Sosial pada kabinet presidensial pertama, kembali dipercaya sebagai menteri. Tapi kali ini ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Ali Sastromidjojo (Juli 1953-Agustus 1955). Sebagai menteri yang mengurusi bidang pertahanan, tugas Iwa cukup berat, karena pada saat itu sedang terjadi kemelut di tubuh Angkatan Darat.

   Setelah tidak lagi menjabat sebagai menteri pada 1957, ia mulai berkecimpung dalam dunia pendidikan setelah diangkat sebagai Rektor Universitas Pajajaran, Bandung. Ketika menjalani profesinya sebagai seorang akademisi, Iwa terbilang produktif dalam menulis buku, seperti Revolusi Hukum di Indonesia, Sejarah Revolusi Indonesia (3 jilid), dan Pokok-pokok Ilmu Politik.

   Berkat jasanya sebagai rektor, pada tahun 1961 jabatan sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan pun dipercayakan padanya. Karirnya dalam pemerintah tak hanya sebagai menteri tapi juga sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Iwa Kusuma Sumantri meninggal dunia pada tanggal 27 November 1971 dalam usia 72 tahun. Atas jasa-jasanya pada negara, Prof Mr. R. H. Iwa Kusuma Sumantri diberi gelar pahlawan Nasional

Sumber: tokohindonesia.com

Post a Comment

 
Top