Kedatangan Belanda yang mengganggu kedaulatan di tanah Melayu mendorong Raja Haji Fisabilillah melakukan perlawanan. Perlawanan yang dilakukannya kala itu mempunyai makna simbolik, yakni sebagai cikal bakal negara kesatuan RI yang kelak akan berdiri dan berdaulat.
Sebagai pemimpin yang menjadi panutan bagi rakyatnya, ia lebih memilih melakukan perlawanan daripada harus bekerjasama dengan bangsa penjajah. Ia tak mau tunduk bahkan takluk pada kekuasaan asing meskipun barangkali akan lebih membawa keuntungan baginya secara pribadi, baik dari segi keamanan maupun ekonomi.
Raja Haji Fisabilillah lahir di Kota Lama, Hulu Riau pada tahun 1725. Di usianya yang menginjak 52 tahun, tepatnya pada tahun 1777, ia diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) Kerajaan Melayu-Riau. Dalam sistem kerajaan Melayu-Riau, pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh YDM.
Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Melayu-Riau berhasil dimajukan, baik dalam bidang ekonomi maupun budaya. Raja Haji Fisabilillah menyadari bahwa bidang pertahanan juga merupakan salah satu unsur penting dalam tegaknya suatu kedaulatan. Oleh karena itu, ia kemudian membangun armada perang yang kuat dan benteng pertahanan yang dibangun di berbagai tempat, terutama di pusat pemerintahan YDM, Pulau Penyengat.
Raja Haji bukan figur pemimpin yang giat bertempur di medan perang. Ia lebih memilih perjuangan melalui cara-cara damai. Akan tetapi, ia juga bukan orang yang gampang ditipu apalagi diatur orang asing. Jadi, adapun pembangunan armada perang seperti disebut di atas dimaksudkan hanya untuk menghadapi ancaman Belanda yang pada saat itu tengah menguasai wilayah Malaka.
Tentang sifatnya itu, bisa terlihat dari perjanjian persahabatan yang dilakukannya dengan pihak Belanda pada tahun 1780. Namun karena Belanda terlalu tamak, dimana sangat ingin menguasai seluruh kepulauan Nusantara, maka dua tahun setelah penandatangan perjanjian, Belanda kemudian melanggar perjanjian yang dibuatnya sendiri. Diperlakukan demikian, Raja Haji pun tersinggung sekaligus memunculkan konflik antara Kerajaan Melayu dengan kompeni Belanda.
Selama sebelas bulan angkatan laut Belanda memblokade Riau. Namun, upaya yang dilakukan Belanda menemui kegagalan karena kerajaan Riau bergeming dan tetap pada pendiriannya untuk tidak serta merta menyerah pada kekuasaan bangsa Belanda.
Upaya Belanda yang hendak menguasai Pulau Penyengat pun menemui kegagalan meskipun sudah mengerahkan segenap tenaga. Seperti ketika kapal Belanda mulai menyerang, salah satu kapal perangnya berhasil diledakkan. Menyadari ketangguhan pasukan Raja Haji, Belanda mulai merencanakan strategi lain. Kali ini mereka mengadakan gencatan senjata dengan tujuan untuk mengulur waktu.
Dalam jeda waktu selama terjadi gencatan senjata, Belanda kembali mendatangkan kapal perang yang lebih besar ke perairan Riau yang mengakibatkan terjadinya pertempuran untuk kedua kalinya. Menghadapi kekuatan Belanda yang besar waktu itu, Sultan Haji melakukan persekutuan dengan Sultan Selangor untuk menyerang Malaka secara bersamaan.
Penyerangan yang dilakukan pasukan Melayu-Riau dan Selangor itu terjadi pada bulan Februari 1784. Belanda pun tak tinggal diam menghadapi persekutuan tersebut, bala bantuan dari Jawa pun didatangkan dengan tujuan untuk merebut pertahanan Raja Haji di Teluk Ketapang. Namun upaya tersebut kembali mengalami kegagalan.
Meskipun gagal, Belanda kembali melakukan perlawanan dengan menambah lagi pasukan dalam jumlah besar. Pada 18 Juni 1784, Belanda kemudian menyerang pertahanan Raja Haji di Teluk Ketapang dari arah belakang. Pertempuran sengit pun terjadi. Raja Haji memimpin sendiri pasukannya menghadapi serangan Belanda.
Dalam pertempuran itu, Raja Haji terkena peluru yang akhirnya merenggut nyawanya. Kepergiannya membuat perlawanan dapat dipadamkan Belanda. Oleh para pengikutnya, jenazah Raja Haji dikebumikan di sebuah lereng bukit di kota Malaka. Di kemudian hari makam itu dipindahkan ke kompleks pemakaman raja-raja Melayu-Riau di selatan Pulau Penyengat.
Atas jasa-jasanya pada negara, Raja Haji Fisabilillah diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 072/TK/Tahun 1997, tanggal 11 Agustus 1997
Sumber : tokohindonesia.com
Sebagai pemimpin yang menjadi panutan bagi rakyatnya, ia lebih memilih melakukan perlawanan daripada harus bekerjasama dengan bangsa penjajah. Ia tak mau tunduk bahkan takluk pada kekuasaan asing meskipun barangkali akan lebih membawa keuntungan baginya secara pribadi, baik dari segi keamanan maupun ekonomi.
Raja Haji Fisabilillah lahir di Kota Lama, Hulu Riau pada tahun 1725. Di usianya yang menginjak 52 tahun, tepatnya pada tahun 1777, ia diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda (YDM) Kerajaan Melayu-Riau. Dalam sistem kerajaan Melayu-Riau, pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh YDM.
Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Melayu-Riau berhasil dimajukan, baik dalam bidang ekonomi maupun budaya. Raja Haji Fisabilillah menyadari bahwa bidang pertahanan juga merupakan salah satu unsur penting dalam tegaknya suatu kedaulatan. Oleh karena itu, ia kemudian membangun armada perang yang kuat dan benteng pertahanan yang dibangun di berbagai tempat, terutama di pusat pemerintahan YDM, Pulau Penyengat.
Raja Haji bukan figur pemimpin yang giat bertempur di medan perang. Ia lebih memilih perjuangan melalui cara-cara damai. Akan tetapi, ia juga bukan orang yang gampang ditipu apalagi diatur orang asing. Jadi, adapun pembangunan armada perang seperti disebut di atas dimaksudkan hanya untuk menghadapi ancaman Belanda yang pada saat itu tengah menguasai wilayah Malaka.
Tentang sifatnya itu, bisa terlihat dari perjanjian persahabatan yang dilakukannya dengan pihak Belanda pada tahun 1780. Namun karena Belanda terlalu tamak, dimana sangat ingin menguasai seluruh kepulauan Nusantara, maka dua tahun setelah penandatangan perjanjian, Belanda kemudian melanggar perjanjian yang dibuatnya sendiri. Diperlakukan demikian, Raja Haji pun tersinggung sekaligus memunculkan konflik antara Kerajaan Melayu dengan kompeni Belanda.
Selama sebelas bulan angkatan laut Belanda memblokade Riau. Namun, upaya yang dilakukan Belanda menemui kegagalan karena kerajaan Riau bergeming dan tetap pada pendiriannya untuk tidak serta merta menyerah pada kekuasaan bangsa Belanda.
Upaya Belanda yang hendak menguasai Pulau Penyengat pun menemui kegagalan meskipun sudah mengerahkan segenap tenaga. Seperti ketika kapal Belanda mulai menyerang, salah satu kapal perangnya berhasil diledakkan. Menyadari ketangguhan pasukan Raja Haji, Belanda mulai merencanakan strategi lain. Kali ini mereka mengadakan gencatan senjata dengan tujuan untuk mengulur waktu.
Dalam jeda waktu selama terjadi gencatan senjata, Belanda kembali mendatangkan kapal perang yang lebih besar ke perairan Riau yang mengakibatkan terjadinya pertempuran untuk kedua kalinya. Menghadapi kekuatan Belanda yang besar waktu itu, Sultan Haji melakukan persekutuan dengan Sultan Selangor untuk menyerang Malaka secara bersamaan.
Penyerangan yang dilakukan pasukan Melayu-Riau dan Selangor itu terjadi pada bulan Februari 1784. Belanda pun tak tinggal diam menghadapi persekutuan tersebut, bala bantuan dari Jawa pun didatangkan dengan tujuan untuk merebut pertahanan Raja Haji di Teluk Ketapang. Namun upaya tersebut kembali mengalami kegagalan.
Meskipun gagal, Belanda kembali melakukan perlawanan dengan menambah lagi pasukan dalam jumlah besar. Pada 18 Juni 1784, Belanda kemudian menyerang pertahanan Raja Haji di Teluk Ketapang dari arah belakang. Pertempuran sengit pun terjadi. Raja Haji memimpin sendiri pasukannya menghadapi serangan Belanda.
Dalam pertempuran itu, Raja Haji terkena peluru yang akhirnya merenggut nyawanya. Kepergiannya membuat perlawanan dapat dipadamkan Belanda. Oleh para pengikutnya, jenazah Raja Haji dikebumikan di sebuah lereng bukit di kota Malaka. Di kemudian hari makam itu dipindahkan ke kompleks pemakaman raja-raja Melayu-Riau di selatan Pulau Penyengat.
Atas jasa-jasanya pada negara, Raja Haji Fisabilillah diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 072/TK/Tahun 1997, tanggal 11 Agustus 1997
Sumber : tokohindonesia.com
Post a Comment