Pewaris tahta Kerajaan Siak Sri Indrapura ke-12 tersebut lahir di pusat kerajaan ini yaitu Siak Sri Indrapura pada 11 Jumadil Awal 1310 Hijriyah bertepatan dengan 1 Desember 1893. Pewaris tahta ini bernama Tengku Sulung Sayed Kasim yang populer dipanggil Syarif Kasim. Ayahandanya adalah sultan ke-11 yang bergelar Sultan Asysyaidis Syarif Hasyim Abdul Djalil Syaifuddin yang memerintah selama 19 tahun yaitu dari tahun 1889 sampai dengan tahun 1908. Ibunya bernama Tengku Yuk, permaisuri kerajaan dan Sayed Kasim mempunyai saudara se-ayah dari ibu Encik Rafe’ah yaitu Tengku Long Putih yang kelak bermastautin di Singapura hingga akhir hayatnya.
Semasa kecilnya sampai dengan berumur 12 tahun, Sayed Kasim dididik dalam lingkungan istana. Sebagai calon pengganti ayahnya yang pada suatu saat nanti akan menduduiki singgasana pula, ia dididik sebagaimana lazimnya adat istiadat raja-raja, meliputi aspek fisik, mental spiritual atau kerohanian dan kecerdasan.
Ayahandanya merupakan seorang sultan yang kuat memegang prinsip Islam, selain itu juga mempunyai pandangan yang luas serta berusaha dalam meningkatkan kemakmuran kerajaan dan kemakmuran rakyat. Baginda ingin yang menggantikannya kelak dapat memimpin kerajaan dengan prinsip Islam dan pengetahuan yang luas. Untuk itu semua, setelah Sayed Kasim berumur 12 tahun yaitu pada tahun 1904 ia dikirim ke Batavia pusat pemerintahan Hindia Belanda pada ketika itu.
Di Batavia, Sayed Kasim melanjutkan pendidikan mengenai pengetahuan hukum Islam kepada Sayed Husein Al-Habsyi yang merupakan ulama besar dan juga termasuk orang pergerakan pada tahun 1908 mulai berkembang di Batavia. Selain belajar mengenai hukum Islam ia juga menuntut ilmu hukum dan ketatanegaraan dari Prof Snouck Hurgronye dari Institute Beck en Volten. Pengetahuan yang diperolehnya tidaklah menjadikannya sebagai boneka kolonial tetapi sebaliknya malah membuka mata hatinya untuk menentang Belanda.
Selanjutnya, dalam kehidupannya yang sangat berpengaruh adalah ajaran dari Sayed Husein Al-Habsyi hingga ia menjadi pemeluk agama Islam yang taat dan berjiwa kebangsaan yang tinggi. Masa penempaan diri selama 11 tahun dari tahun 1904 sampai tahun 1915 di Batavia yang saat itu selain sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda juga merupakan Pusat Pergerakan Nasional, yang pada waktunya menanamkan pula kepada pemuda Sayed Kasim semangat kesatuan, semangat kemerdekaan dan semangat untuk menentang penjajah. Jiwa anti Belanda yang mendarah daging dalam dirinya dapat dilihat dari sepak terjangnya setelah beliau dinobatkan menjadi sultan.
Saat Sayed Kasim berumur 16 tahun semasa masih menuntut ilmu di Batavia, ayahandanya Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Djailil Syaifuddin mangkat bertepatan tahun 1908. Oleh karena itu, Sayed Kasim tidak langsung dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahndanya, maka untuk sementara waktu pemerintahan dipegang oleh dua orang pejabat yang mewakili raja yaitu Tengku Besar Sayed Syagaf dan Datuk Lima Puluh selama kurang lebih 7 tahun.
Sekembalinya dari Batavia pada 3 Maret 1915, dalam usia 23 tahun Sayed Kasim dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura yang ke-12 dengan gelar Sultan Asysyaidis Syarif Kasim Abdul DJalil Syaifuddin.
Di masa pemerintahan ayahandanya Sultan Sayed Hasyim (Sultan Siak ke-11), dalam melaksanakan pemerintahan baginda dibantu oleh Dewan Menteri atau Dewan Kerajaan. Dewan inilah yang memilih dan mengangkat sultan, dewan ini bersama sultan membuat undang-undang dan peraturan. Dewan itu terdiri dari Datuk-datuk Empat Suku yaitu: Datuk Tanah Datar Sri Pakermaraja, Datuk Limapuluh Sri Bijuangsa, Datuk Pesisir Sri Dewaraja dan Datuk Kampar Maharaja Sri Wangsa.
Kekhawatiran Belanda timbul karena pewaris kerajaan adalah orang yang berpendidikan dan progresif, oleh karena itu pengangkatan Sultan Syarif Kasim II kurang disenangi oleh pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, Datuk Empat Suku yang merupakan Dewan Kerajaan tetap menghendaki Sayed Kasim menjadi sultan. Akibatnya Belanda mulai mengecilkan arti dan fungsi Dewan Kerajaan dan kemudian akhirnya Dewan Kerajaan dihapuskan oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Undang-Undang Kerajaan dan Tata Pemerintahan Kerajaan Siak yang tertuang dalam Babul Kawaid yang merupakan pintu segala pegangan dan pedoman sepuluh provinsi Kerajaan Siak semenjak kepemimpinan ayahandanya dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda. Sultan Siak tidak menerima perubahan yang diusulkan Belanda karena hal ini dirasakan bahwa Belanda terlalu banyak mencampuri urusan kerajaan.
Pemaksaan dan tekanan yang terus menerus dilakukan Belanda akhirnya struktur pemerintahan di daerah-daerah dapat diubah Belanda dari bentuk provinsi menjadi district dan onder district. Kerajaan Siak terdiri dari 5 distrik, yaitu: Distrik Siak, Distrik Selatpanjang, Distrik Bagansiapi-api, Distrik Bukit Batu dan Distrik Pekanbaru.
Setelah Datuk Empat Suku tidak berfungsi lagi, penghasilan hutan tanah yang disebut “pancung alas” tidak boleh lagi dipungut. Pengadilan hanya Kerapatan Tinggi saja dan harus memasukkan controleur, sebagai anggota peraturan rodi dikenakan pada anak negeri. Dari hari ke hari tekanan oleh pihak Belanda semakin terasa dan meresahkan rakyat.
Sultan Siak ke-12 mulai menentang Belanda dan memandang perlu membangun kekuatan fisik karena ancaman Belanda tidak dapat dielakkan lagi. Sultan membangun kekuatan militer yang berawal dari barisan kehormatan pemuda-pemuda. Dilatih untuk membangkitkan semangat perlawanan dan mempertahankan diri serta membela nasib rakyat.
Pendidikan kemiliteran yang dilaksanakan sultan menimbulkan kebencian Belanda. Belanda menerapkan satu batalion serdadu Belanda di tangsi yang terletak berseberangan dengan Istana Siak. Sedangkan senjata meriam dari Sultan Siak siap siaga di benteng Istana Lama yang dikendalikan suku Bentan.
Sultan menolak campur tangan peraturan pengadilan pemerintahan Hindia Belanda terhadap rakyatnya dan mempertahankan keberadaan Kerapatan Tinggi Kerajaan Siak supaya diatur dan disusun oleh Kerajaan Siak sendiri.
Hutan tanah yang disebut pancung alas kejayaan suku tetap dipertahankan. Peraturan rodi untuk anak negeri ditolak dan tidak dilaksanakan di seluruh Kerajaan Siak. Sultan Siak mengatur sebuah perlawanan bersenjata pada tahun1931 melalui pemberontakan dan perlawanan “si Kojan” yang terjadi di Sungai Pareban, Selat Akar, Merbau. Dengan terpaksa pemerintah Kolonial Belanda mendatangkan bala bantuan Marsose dari Medan dibawah pimpinan Letnan Leiner.
Dalam menentang penjajahan Belanda, Sultan Siak ke-12 memandang kekuatan harus diimbangi dengan kekuatan pembinaan mental dan pendidikan rakyat. Untuk itu didirikanlah sekolah bagi anak negeri dan memberikan beasiswa kepada anak-anak yang berbakat.
Pada tahun 1917 Sultan Syarif Kasim II mendirikan Sekolah Agama Islam yang diberi nama Madrasah Taufiqiyah Al-Hasyimiah. Pada tahun 1926 Sultan dan Permaisuri Tengku Agung mendirikan sekolah untuk kaum wanita yang diberi nama Latifah School. Pendidikan dimaksud selain untuk menimba pengetahuan agama Islam, juga untuk menanamkan rasa semangat kebangsaan, harga diri dan jiwa patriotisme.
Pecahnya Perang Asia Timur Raya pada 1942, tentara Jepang menduduki Singapura dan Semenanjung Melaka. Tentara Jepang sampai di Pekanbaru melalui Sumatera Barat dan Sumatera Utara dengan tujuan utama untuk menghubungi sultan dan para pembesar Belanda di Residen Bengkalis. Belanda gelisah dan mengharapkan perlindungan dari sultan.
Di tangsi militer Belanda, tentara Jepang mengumpulkan pembesar Belanda baik sipil maupun militer. Kemudian mengutus inspektur polisi untuk meminta sultan datang ke kantor Contileur, tetapi sultan menolak dan tetap menunggu di istana.
Kerajaan Siak tetap berjalan seperti biasa, tata pemerintahan tidak berubah hanya penyebutan nama dan jabatan yang berubah. Seperti District Koofd menjadi Gun Cho dan Onderdistrichoofd menjadi Kun Sho.
Tidak lama sesudah Musyawarah Kaisi (musyawarah raja-raja) Jepang menangkapi beberapa raja di Riau. Di Siak sendiri ditangkap Guncho Wan Entol. Jepang belum berani menangkap Sultan Siak karena takut terjadi pemberontakan, namun penangkapan sebelumnya merupakan peringatan secara tidak langsung kepada sultan.
Sementara itu terjadi pemberontakan orang Sakai terhadap Jepang di daerah Balai Pungut wilayah Mandau. Pemberontakan ini dipimpin oleh Si Kodai dan beberapa kawan-kawannya, sehingga banyak korban dari pihak tentara Jepang. Jepang mengira pemberontakan ini sebagai reaksi atas penangkapan Datuk Wan Entol. Karena itu, Datuk Wan Entol dibebaskan dan sultan mengirim Datuk Johar Arifin bersama OK Muhammad Djamil mengadakan perundingan dan perdamaian dengan Si Kodai, sehingga Si Kodai dapat dibawa ke Siak atas jaminan sultan. Dengan demikian pemberontakan suku Sakai dapat dihentikan.
Pada permulaan kedatangannya, Jepang meminta sultan untuk menyusun pemerintahan baru, tetapi sedikit demi sedikit kekuasaan langsung dipegang oleh Jepang. Sultan praktis tidak memegang kekuasaan lagi. Dalam situasi demikian, sultan masih membuktikan dirinya sebagai pembela rakyat. Sultan menolak mengirimkan tenaga Romusha yang diminta oleh Jepang. Biarpun tak lagi memegang tampuk pemerintahan, namun sultan tetap bertanggung jawab terhadap kerajaan dan rakyatnya.
Berita kekalahan bala tentara Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945 tersiar di daerah Riau pada akhir Agustus 1945. Sultan Siak sudah mendengar berita proklamasi. Sejak muda sampai akhir hayatnya Sultan Syarif Kasim II terkenal taat beribadah dan almarhum sangat dicintai rakyatnya.
Sultan Syarif Kasim II, sultan dari Kerajaan Melayu yang terkenal penentang pemerintahan Hindia Belanda yang gigih. Jasa-jasa beliau sebagai patriot Tanah Air tentulah tidak dapat dilupakan begitu saja.
Menjelang akhir hayatnya, sultan dalam jasmaninya hidup dalam kesunyian kebesarannya, tetapi hatinya tetap dalam gegap gempitanya derap maju kemerdekaan bangsa dan negaranya. Di tengah-tengah dentam palu godam pembangunan beliau berbaring dengan tenang di atas “semburan sejuta barrel” kekayaan alam swapraja-nya dahulu di Rumah Sakit Caltex Rumbai, Pekanbaru. Dan dengan iringan asap mesiu “salvo” penghormatan, beristirahatlah untuk selamanya seorang pejuang yang tidak pernah jauh dari hati rakyatnya.
Pada 6 November 1998 melalui Kepres No.109/TK/1998, Pemerintah RI memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Almarhum Sultan Syarif Kasim II (Sultan Siak XII) dengan anugerah tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana.
Semasa kecilnya sampai dengan berumur 12 tahun, Sayed Kasim dididik dalam lingkungan istana. Sebagai calon pengganti ayahnya yang pada suatu saat nanti akan menduduiki singgasana pula, ia dididik sebagaimana lazimnya adat istiadat raja-raja, meliputi aspek fisik, mental spiritual atau kerohanian dan kecerdasan.
Ayahandanya merupakan seorang sultan yang kuat memegang prinsip Islam, selain itu juga mempunyai pandangan yang luas serta berusaha dalam meningkatkan kemakmuran kerajaan dan kemakmuran rakyat. Baginda ingin yang menggantikannya kelak dapat memimpin kerajaan dengan prinsip Islam dan pengetahuan yang luas. Untuk itu semua, setelah Sayed Kasim berumur 12 tahun yaitu pada tahun 1904 ia dikirim ke Batavia pusat pemerintahan Hindia Belanda pada ketika itu.
Di Batavia, Sayed Kasim melanjutkan pendidikan mengenai pengetahuan hukum Islam kepada Sayed Husein Al-Habsyi yang merupakan ulama besar dan juga termasuk orang pergerakan pada tahun 1908 mulai berkembang di Batavia. Selain belajar mengenai hukum Islam ia juga menuntut ilmu hukum dan ketatanegaraan dari Prof Snouck Hurgronye dari Institute Beck en Volten. Pengetahuan yang diperolehnya tidaklah menjadikannya sebagai boneka kolonial tetapi sebaliknya malah membuka mata hatinya untuk menentang Belanda.
Selanjutnya, dalam kehidupannya yang sangat berpengaruh adalah ajaran dari Sayed Husein Al-Habsyi hingga ia menjadi pemeluk agama Islam yang taat dan berjiwa kebangsaan yang tinggi. Masa penempaan diri selama 11 tahun dari tahun 1904 sampai tahun 1915 di Batavia yang saat itu selain sebagai pusat pemerintahan kolonial Belanda juga merupakan Pusat Pergerakan Nasional, yang pada waktunya menanamkan pula kepada pemuda Sayed Kasim semangat kesatuan, semangat kemerdekaan dan semangat untuk menentang penjajah. Jiwa anti Belanda yang mendarah daging dalam dirinya dapat dilihat dari sepak terjangnya setelah beliau dinobatkan menjadi sultan.
Saat Sayed Kasim berumur 16 tahun semasa masih menuntut ilmu di Batavia, ayahandanya Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Djailil Syaifuddin mangkat bertepatan tahun 1908. Oleh karena itu, Sayed Kasim tidak langsung dinobatkan sebagai raja menggantikan ayahndanya, maka untuk sementara waktu pemerintahan dipegang oleh dua orang pejabat yang mewakili raja yaitu Tengku Besar Sayed Syagaf dan Datuk Lima Puluh selama kurang lebih 7 tahun.
Sekembalinya dari Batavia pada 3 Maret 1915, dalam usia 23 tahun Sayed Kasim dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Siak Sri Indrapura yang ke-12 dengan gelar Sultan Asysyaidis Syarif Kasim Abdul DJalil Syaifuddin.
Di masa pemerintahan ayahandanya Sultan Sayed Hasyim (Sultan Siak ke-11), dalam melaksanakan pemerintahan baginda dibantu oleh Dewan Menteri atau Dewan Kerajaan. Dewan inilah yang memilih dan mengangkat sultan, dewan ini bersama sultan membuat undang-undang dan peraturan. Dewan itu terdiri dari Datuk-datuk Empat Suku yaitu: Datuk Tanah Datar Sri Pakermaraja, Datuk Limapuluh Sri Bijuangsa, Datuk Pesisir Sri Dewaraja dan Datuk Kampar Maharaja Sri Wangsa.
Kekhawatiran Belanda timbul karena pewaris kerajaan adalah orang yang berpendidikan dan progresif, oleh karena itu pengangkatan Sultan Syarif Kasim II kurang disenangi oleh pemerintah Hindia Belanda. Akan tetapi, Datuk Empat Suku yang merupakan Dewan Kerajaan tetap menghendaki Sayed Kasim menjadi sultan. Akibatnya Belanda mulai mengecilkan arti dan fungsi Dewan Kerajaan dan kemudian akhirnya Dewan Kerajaan dihapuskan oleh pemerintahan Hindia Belanda.
Undang-Undang Kerajaan dan Tata Pemerintahan Kerajaan Siak yang tertuang dalam Babul Kawaid yang merupakan pintu segala pegangan dan pedoman sepuluh provinsi Kerajaan Siak semenjak kepemimpinan ayahandanya dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda. Sultan Siak tidak menerima perubahan yang diusulkan Belanda karena hal ini dirasakan bahwa Belanda terlalu banyak mencampuri urusan kerajaan.
Pemaksaan dan tekanan yang terus menerus dilakukan Belanda akhirnya struktur pemerintahan di daerah-daerah dapat diubah Belanda dari bentuk provinsi menjadi district dan onder district. Kerajaan Siak terdiri dari 5 distrik, yaitu: Distrik Siak, Distrik Selatpanjang, Distrik Bagansiapi-api, Distrik Bukit Batu dan Distrik Pekanbaru.
Setelah Datuk Empat Suku tidak berfungsi lagi, penghasilan hutan tanah yang disebut “pancung alas” tidak boleh lagi dipungut. Pengadilan hanya Kerapatan Tinggi saja dan harus memasukkan controleur, sebagai anggota peraturan rodi dikenakan pada anak negeri. Dari hari ke hari tekanan oleh pihak Belanda semakin terasa dan meresahkan rakyat.
Sultan Siak ke-12 mulai menentang Belanda dan memandang perlu membangun kekuatan fisik karena ancaman Belanda tidak dapat dielakkan lagi. Sultan membangun kekuatan militer yang berawal dari barisan kehormatan pemuda-pemuda. Dilatih untuk membangkitkan semangat perlawanan dan mempertahankan diri serta membela nasib rakyat.
Pendidikan kemiliteran yang dilaksanakan sultan menimbulkan kebencian Belanda. Belanda menerapkan satu batalion serdadu Belanda di tangsi yang terletak berseberangan dengan Istana Siak. Sedangkan senjata meriam dari Sultan Siak siap siaga di benteng Istana Lama yang dikendalikan suku Bentan.
Sultan menolak campur tangan peraturan pengadilan pemerintahan Hindia Belanda terhadap rakyatnya dan mempertahankan keberadaan Kerapatan Tinggi Kerajaan Siak supaya diatur dan disusun oleh Kerajaan Siak sendiri.
Hutan tanah yang disebut pancung alas kejayaan suku tetap dipertahankan. Peraturan rodi untuk anak negeri ditolak dan tidak dilaksanakan di seluruh Kerajaan Siak. Sultan Siak mengatur sebuah perlawanan bersenjata pada tahun1931 melalui pemberontakan dan perlawanan “si Kojan” yang terjadi di Sungai Pareban, Selat Akar, Merbau. Dengan terpaksa pemerintah Kolonial Belanda mendatangkan bala bantuan Marsose dari Medan dibawah pimpinan Letnan Leiner.
Dalam menentang penjajahan Belanda, Sultan Siak ke-12 memandang kekuatan harus diimbangi dengan kekuatan pembinaan mental dan pendidikan rakyat. Untuk itu didirikanlah sekolah bagi anak negeri dan memberikan beasiswa kepada anak-anak yang berbakat.
Pada tahun 1917 Sultan Syarif Kasim II mendirikan Sekolah Agama Islam yang diberi nama Madrasah Taufiqiyah Al-Hasyimiah. Pada tahun 1926 Sultan dan Permaisuri Tengku Agung mendirikan sekolah untuk kaum wanita yang diberi nama Latifah School. Pendidikan dimaksud selain untuk menimba pengetahuan agama Islam, juga untuk menanamkan rasa semangat kebangsaan, harga diri dan jiwa patriotisme.
Pecahnya Perang Asia Timur Raya pada 1942, tentara Jepang menduduki Singapura dan Semenanjung Melaka. Tentara Jepang sampai di Pekanbaru melalui Sumatera Barat dan Sumatera Utara dengan tujuan utama untuk menghubungi sultan dan para pembesar Belanda di Residen Bengkalis. Belanda gelisah dan mengharapkan perlindungan dari sultan.
Di tangsi militer Belanda, tentara Jepang mengumpulkan pembesar Belanda baik sipil maupun militer. Kemudian mengutus inspektur polisi untuk meminta sultan datang ke kantor Contileur, tetapi sultan menolak dan tetap menunggu di istana.
Kerajaan Siak tetap berjalan seperti biasa, tata pemerintahan tidak berubah hanya penyebutan nama dan jabatan yang berubah. Seperti District Koofd menjadi Gun Cho dan Onderdistrichoofd menjadi Kun Sho.
Tidak lama sesudah Musyawarah Kaisi (musyawarah raja-raja) Jepang menangkapi beberapa raja di Riau. Di Siak sendiri ditangkap Guncho Wan Entol. Jepang belum berani menangkap Sultan Siak karena takut terjadi pemberontakan, namun penangkapan sebelumnya merupakan peringatan secara tidak langsung kepada sultan.
Sementara itu terjadi pemberontakan orang Sakai terhadap Jepang di daerah Balai Pungut wilayah Mandau. Pemberontakan ini dipimpin oleh Si Kodai dan beberapa kawan-kawannya, sehingga banyak korban dari pihak tentara Jepang. Jepang mengira pemberontakan ini sebagai reaksi atas penangkapan Datuk Wan Entol. Karena itu, Datuk Wan Entol dibebaskan dan sultan mengirim Datuk Johar Arifin bersama OK Muhammad Djamil mengadakan perundingan dan perdamaian dengan Si Kodai, sehingga Si Kodai dapat dibawa ke Siak atas jaminan sultan. Dengan demikian pemberontakan suku Sakai dapat dihentikan.
Pada permulaan kedatangannya, Jepang meminta sultan untuk menyusun pemerintahan baru, tetapi sedikit demi sedikit kekuasaan langsung dipegang oleh Jepang. Sultan praktis tidak memegang kekuasaan lagi. Dalam situasi demikian, sultan masih membuktikan dirinya sebagai pembela rakyat. Sultan menolak mengirimkan tenaga Romusha yang diminta oleh Jepang. Biarpun tak lagi memegang tampuk pemerintahan, namun sultan tetap bertanggung jawab terhadap kerajaan dan rakyatnya.
Berita kekalahan bala tentara Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada tentara Sekutu pada 15 Agustus 1945 tersiar di daerah Riau pada akhir Agustus 1945. Sultan Siak sudah mendengar berita proklamasi. Sejak muda sampai akhir hayatnya Sultan Syarif Kasim II terkenal taat beribadah dan almarhum sangat dicintai rakyatnya.
Sultan Syarif Kasim II, sultan dari Kerajaan Melayu yang terkenal penentang pemerintahan Hindia Belanda yang gigih. Jasa-jasa beliau sebagai patriot Tanah Air tentulah tidak dapat dilupakan begitu saja.
Menjelang akhir hayatnya, sultan dalam jasmaninya hidup dalam kesunyian kebesarannya, tetapi hatinya tetap dalam gegap gempitanya derap maju kemerdekaan bangsa dan negaranya. Di tengah-tengah dentam palu godam pembangunan beliau berbaring dengan tenang di atas “semburan sejuta barrel” kekayaan alam swapraja-nya dahulu di Rumah Sakit Caltex Rumbai, Pekanbaru. Dan dengan iringan asap mesiu “salvo” penghormatan, beristirahatlah untuk selamanya seorang pejuang yang tidak pernah jauh dari hati rakyatnya.
Pada 6 November 1998 melalui Kepres No.109/TK/1998, Pemerintah RI memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Almarhum Sultan Syarif Kasim II (Sultan Siak XII) dengan anugerah tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana.
Sumber : www.riaupos.co
Post a Comment