Sesudah Perang Diponegoro berakhir, pemerintah Belanda menata kembali wilayah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta dalam arti menentukan daerah-daerah mana saja yang akan mereka ambil. Hal itu dilakukan Belanda sebagai imbalan atas jasa yang sudah mereka berikan dalam menumpas perlawanan Diponegoro. Khusus untuk Kesunanan Surakarta dibentuk sebuah badan yang disebut ”Commissarissen ter Bepaling derZaken te Surakarta” (komisaris-komisaris yang bertugas untuk menetapkan urusan di Surakarta). Pada tanggal 20 Mei 1830 badan itu menetapkan, ”Hendaklah Sri Sunan Pakubuwono VI setuju menyerahkan kepada Gubernemen dari Banyumas dan Bagelen beserta tanah-tanah Monconegoro yang akan diatur oleh Gubernemen atas nama Susuhunan”. ’
Ketentuan itu tak lain daripada menggerogoti wilayah kerajaan Surakarta. Pakubuwono VI keberatan menerimanya. Tetapi karena tekanan Belanda, akhirnya dengan hati yang berat terpaksa juga menerimanya. Dalam suratnya tanggal 29 Mei 1830 Pakubuwono VI menyebutkan bahwa tunduk kepada keinginan Gubernemen. Akhirnya hal itu di tuangkan dalam perjanjian yang mengikat, tetapi Pakubuwono VI tidak bersedia menandatangani perjanjian tersebut. Barulah pada tanggal 22 Juni 1830 perjanjian itu ditanda-tandai oleh penggantinya, Pakubuwono VII.


   Tindakan itu memperlihatkan sikap Pakubuwono VI yang tidak selamanya patuh kepada pemerintah jajahan. Ia dilahirkan tanggal 26 April 1807 sebagai putera dari Pakubuwono V, Ibunya, Raden Ayu Sosroningrat adalah seorang selir. Karena itu Sapardan, nama kecil Pakubuwono VI, tidak berhak menduduki tahta kerajaan Surakarta. Pakubuwono V tidak mempunyai anak laki-laki dari permaisuri. Sesuai dengan adat kerajaan seharusnya digantikan oleh saudara laki-lakinya, Pangeran Puruboyo, anak permaisuri Pakubuwono IV, tetapi Pakubuwono V sudah meninggalkan wasiat kepada Patih Sosroningrat agar Sapardan diangkat sebagai penggantinya. Wasiat itu disetujui pula oleh Residen Belanda di Surakarta, Mac Gillavry.
   Waktu Sapardan berusia empat tahun, di Indonesia terjadi pergantian kekuasaan pemerintah jajahan dari tangan Belanda ke tangan Inggris sebagai akibat perang yang berkobar di Eropa. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Susuhunan Surakarta Pakubuwono IV dan Sultan Yogyakarta Hamengku Buwono II untuk melepaskan diri dari kekuasaan bangsa asing. Mereka sepakat untuk melancarkan aksi bersama, Hamengku Buwono II segera mengadakan persiapan. Tetapi rencananya diketahui Inggris karena penghianatan seorang keluarga keraton. la ditangkap dan dibuang ke Penang. Sesudah itu pasukan Inggris mengadakan penjagaan yang ketat disekitar keraton Surakarta, sehingga Paku Buwono IV tidak sempat melakukan rencananya. Secara samar-samar penjagaan pasukan asing itu membekas dalam jiwa Sapardan.
Kurang dari dua tahun setelah Sapardan dinobatkan sebagai Sunan Surakarta, di daerah Jawa Tengah terjadi perlawanan bersenjata untuk menumbangkan kekuasaan penjajahan Belanda yang sejak tahun 1816 berkuasa kembali di Indonesia. Perlawanan itu dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Sunan Surakarta dan Sultan Yogyakarta serta Mangkunegara dan Pakualam mau tak mau terpaksa memihak Belanda sesuai dengan kontrak politik yang ada antara kerajaan-kerajaan ini dengan pihak Belanda. Paku Buwono VI mengirimkan pasukannya dibawah pimpinan Pangeran Kusumoyudo untuk menghadapi pasukan Diponegoro. Pasukan ini tidak berhadapan dengan pasukan yang langsung dipimpin Diponegoro, tetapi menghadapi perlawanan rakyat daerah Semarang dan Kedu yang juga telah mengangkat senjata melawan pemerintah Belanda. Komandan tentara Belanda tidak puas dengan pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Surakarta, bahkan Residen Belanda di Surakarta, Nahuys, menganggap pasukan ini hanya melakukan perang pura-pura dengan cara menembakkan senjata ke atas, tidak kearah musuh. Karena itu curiga dan menuduh pasukan Surakarta berdiri dipihak Diponegoro atau sekurang-kurangnya bersikap netral. Residen Surakarta Nahuys berkesimpulan bahwa Paku Buwono VI tidak dapat dipercaya. Ia mengusulkan kepada pemerintah Belanda di Jakarta agar Paku Buwono VI dipecat. Usul itu ditolak.
Sejarah yang ditulis orang-orang Belanda mengatakan, bahwa sikap Paku Buwono VI amat meragukan, sedangkan menurut versi keraton Surakarta yang diungkapkan setelah kemerdekaan Indonesia, Sikap Paku Buwono VI adalah jelas memihak Diponegoro. Tidak saja dengan surat atau utusan beliau menghubungi Diponegoro, tetapi beliau membantu secara fisik. Beliau pun pernah mengadakan ”pertemuan rahasia” dengan Diponegoro antara lain di hutan Krendawahana, sebelah utara kota Sala. Diceritakan bahwa diatas batu ”Selagilang” Paku Buwono VI menyerahkan keris pusaka ”Kyai Sandanglawe” kepada Diponegoro. Berbagai pusaka keraton telah diberikan lebih dahulu dengan perantaraan Raden Ajeng Sumirah, saudara sepupu Diponegoro. Pernah pula Paku Buwono VI pribadi bermusyawarah tentang siasat perang melawan Belanda di bawah pohon beringin rindang di hutan Krendawahana dengan Diponegoro, R.A. Sumirah dan Kyai Mojo demikianlah sumber keraton Surakarta yang diuraikan oleh R.M. Rio Yosodipuro dalam ”Peringatan Dwi Windu Pahlawan Kemerdekaan Nasional Sri Paku Buwono VI” pada tanggal 18 November 1980.
   Yang dapat dipastikan ialah bahwa Paku Buwono VI tidak terlalu memihak Belanda. Setelah perang Diponegoro selesai, terbuktilah sikap membangkangnya seperti yang diuraikan pada awal tulisan ini.
   Pada saat hubungannya dengan pemerintah Belanda cukup tegang akibat ketidak-sediaannya menandatangani perjanjian, Paku Buwono VI harus pula menghadapi persoalan yang rumit mengenai hidup pribadinya. Beliau mempunyai empat orang permaisuri. Salah seorang yang sangat dicintainya Kanjeng Ratu Anom. Permaisuri ini menuntut, bila mana melahirkan anak laki-laki, maka putra itulah yang harus diangkat sebagai Sunan Surakarta. Permintaan itu disanggupi oleh Paku Buwono VI. Ia pun berjanji tidak akan menggauli permaisuri yang lain sebelum K.R. Anom mengandung. Bila hal itu dilakukannya, maka sumpah K.R. Anom akan berlaku atas dirinya, yakni tidak akan mempunyai kekuasaan sebagai raja diatas kerajaannya.
   Ternyata yang hamil adalah permaisuri yang lain, yakni Kanjeng Ratu Emas, akibatnya, K.R. Anom menjadi marah dan putus asa. Ia malahan berusaha bunuh diri, namun dapat dicegah. Paku Buwono VI berada dalam keadaan yang sulit. Ia ingat janjinya kepada K.R. Anom dan sumpah permaisuri ini atas dirinya. Dalam keadaan demikian, Paku Buwono VI memutuskan untuk memohon ”pepadang”, yakni memohon petunjuk gaib dari Tuhan. Untuk itu harus menyepi dan memohon bantuan kepada para leluhurnya di makam kerajaan di Imogiri. Tengah malam tanggal 5 Juni 1830 dengan diam-diam meninggalkan keraton dengan 7 orang pengiringnya. Dari keraton Ia menuju Jatinom, Klaten, kemudian masuk hutan terus ke Mancingan Parangtritis, di tepi pantai samudera selatan.


   Kepergian Paku Buwono VI dari keraton segera dilaporkan oleh Pangeran Buminoto kepada Residen Surakarta. Dikatakan pula oleh pangeran ini, bahwa Paku Buwono VI tidak akan kembali sebelum kerajaan Surakarta utuh seperti sediakala. Residen menafsirkan bahwa Paku Buwono VI menyiapkan pemberontakan untuk merebut kembali daerahnya yang telah diambil Belanda. Ia segera memerintahkan pasukan Belanda memasuki keraton untuk mengadakan pemeriksaan kalau-kalau Paku Buwono masih ada dalam keraton. Keraton dikepung dan meriam dipasang dihadapkan ke keraton. Rakyat menduga, bahwa keraton akan dihancurkan Belanda. Karena itu banyak rakyat yang mengungsi ke luar kota.
   Residen mengadakan pembicaraan dengan Patih Sosrodiningrat, Mangkunegoro dan pangeran-pangeran lainnya. Berita telegram segera dikirim ke Jakarta. Sehari kemudian keluar pengumuman, bahwa urusan pemerintahan di Surakarta ditugaskan kepada Pangeran Buminoto, Pangeran Puruboyo, Pangeran Kusumoyudo dan Pangeran Hadinagoro.
   Sebenarnya sejak tahun 1829 masalah Paku Buwono sudah menjadi bahan pembicaraan di kalangan pejabat tinggi pemerintah Belanda. Surat menyurat antara Jenderal de Kock. Komisaris Jenderal, Menteri jajahan dan Dewan Hindia berkali-kali mempertimbangkan untuk menyingkirkan Paku Buwono VI yang dianggap tidak setia kepada pemerintah Belanda. Kini, dengan perginya Paku Buwono VI dari keraton, maka jalan untuk menurunkannya dari tahta kerajaan terbuka lebar.
   Sepasukan tentara Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sollewijn diperintahkan mengejar Paku Buwono VI. la tertangkap di Mancingan. Dalam pertemuan dengan Residen Surakarta Nahuys di Pasargede, Paku Buwono VI menjelaskan maksudnya hendak ke makam nenek moyangnya di Imogiri. Namun apa pun alasan yang diberikannya, residen tidak mau menerimanya. la tetap dipersalahkan. Dalam pengumuman tanggal 14 Juni 1830 yang ditandatangani oleh P. Markus dan Kolonel Nahuys atas nama Pemerintah Hindia Belanda, Paku Buwono VI diturunkan dari tahta kerajaan Surakarta. Sebagai penggantinya ditetapkan Pangeran Puruboyo.
   Paku Buwono VI dibawa ke Semarang dan kemudian ke Jakarta. Pada tanggal 8 Juli 1830, beliau dibawa dengan kapal Roepel ke tempat pengasingannya di Ambon. Di tempat pengasingan ini beliau meninggal dunia pada tahun 1849. Jenazahnya dikebumikan di Ambon. Kemudian pada tanggal 8 Maret 1957 oleh keluarganya diadakan penggalian jenazah almarhum dengan disaksikan oleh Wakil Pemerintah R.I. Kerangkanya dipindahkan ke makam raja-raja di Imogiri Yogyakarta.
   Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.294 Tahun 1962 tanggal 17 November 1964 menganugerahi Sri Susuhunan Paku Buwono VI gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

sumber : berbagai sumber

Post a Comment

 
Top